Berdasarkan Ensiklik itu, Mgr Paskalis mengangkat pertanyaan mendasar dari inti sarinya: “Bumi macam apa yang hendak kita wariskan kepada generasi baru, kepada anak-anak yang sedang bertumbuh?” Pertanyaan ini menyentuh makna eksistensial dan nilai-nilai sosial dari hidup. Paus berkeyakinan bahwa panggilan memelihara lingkungan hidup tak terlepaskan dari bagaimana manusia memberi makna dan cara melaksanakan hidupnya di bumi pertiwi ini.
Mgr Paskalis menanggapi ensiklik itu dengan mengajak umatnya mewujudkan langkah nyata sebagai pertobatan ekologis. Misalnya, ia menyerukan agar umatnya berpartispasi dalam program “Bogor lima juta lubang biopori”. Program itu untuk menghargai “saudari air” dengan menyalurkannya kembali ke rahim “ibu bumi”. Mgr Paskalis juga mengajak umatnya untuk melakukan gerakan “Go Green Parishes” atau “paroki hijau royo-royo”. Lahirnya gerakan nyata yang kreatif untuk merawat “rumah kita bersama” itu merupakan “pertobatan ekologis”.
Kita layak mengikuti langkah Mgr Paskalis dalam melaksanakan seruan Laudato Si’. Bentuknya bisa bermacam-macam. Namun hakekatnya sama, tindakan nyata adalah “pertobatan ekologis”, merawat bumi agar “rumah kita bersama” tetap segar dan nyaman.
Lihat : Laudato Si