Sementara Yesus berbicara demikian kepada mereka, datanglah seorang kepala rumah ibadat, lalu menyembah Dia dan berkata, “Anak perempuanku baru saja meninggal, tetapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup”. Lalu Yesus pun bangun dan mengikuti orang itu bersama-sama dengan murid-murid-Nya. Pada waktu itu seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan maju mendekati Yesus dari belakang dan menyentuh jumbai jubah-Nya. Karena katanya dalam hatinya, “Asal kusentuh saja jubah-Nya, aku akan sembuh.” Tetapi Yesus berpaling dan memandang dia serta berkata, “Teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau.” Sejak saat itu sembuhlah perempuan itu.
Ketika Yesus tiba di rumah kepala rumah ibadat itu dan melihat peniup-peniup seruling dan orang banyak ribut, berkatalah Ia, “Pergilah, karena anak ini tidak mati, tetapi tidur.” Tetapi mereka menertawakan Dia. Setelah orang banyak itu disuruh keluar, Yesus masuk dan memegang tangan anak itu, lalu bangkitlah anak itu. Dan tersebarlah kabar tentang hal itu ke seluruh daerah itu. (Mat 9:18-26)
Bacaan Pertama: Kej 28:10-22a; Mazmur Tanggapan: Mzm 91:1-4,14-15
Dalam dua mukjizat yang disajikan dalam bacaan Injil hari ini, Matius dengan cukup mencolok menekankan pentingnya iman-kepercayaan. Seorang perempuan yang dua belas tahun menderita pendarahan disembuhkan oleh Yesus hanya dengan menyentuh jubah-Nya, dan Yesus berkata kepadanya:“Teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Mat 9:22). Sang kepala sinagoga yang anaknya baru saja meninggal dunia, dengan penuh kepercayaan memohon kepada Yesus:“Anak perempuanku baru saja meninggal, tetapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup” (Mat 9:18). Menanggapi permohonannya Yesus pun menghidupkan anak perempuan yang telah meninggal dunia tersebut.
Sekilas lintas kepercayaan itu hanya merupakan suatu persiapan dan syarat psikologis saja, sehingga dengan demikian dapat menggiring orang kepada suatu pemikiran yang keliru bahwa mukjizat tidak lain tidak bukan adalah gejala psikologis belaka. Dalam hal ini kita harus mengingat baik-baik bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dibangkitkan dengan psikologi saja dan seorang buta tidak akan celik matanya oleh kerinduannya yang terbesar sekalipun. Hubungan antara mukjizat dan kepercayaan bukanlah hubungan psikologis, melainkan hubungan spiritual. Di sini ada dua aspek yang harus diperhatikan. Pertama: kepercayaan dapat mendahului mukjizat. Dengan demikian mukjizat merupakan penguat kepercayaannya, pemenuhan keinginan serta tujuan perjalanannya. Maka mukjizat itu melambangkan surga, yang hanya dapat dicapai dengan iman saja. Kedua: kepercayaan juga dapat timbul akibat mukjizat. Dalam hal ini mukjizat merupakan penguat dari pihak Allah kepada orang yang menjadi saluran berkat-Nya, yaitu menyatakan bahwa kata-kata orang itu dapat dipercaya. Lalu konsekuensi tunggal bagi orang yang melihat/mengalami mukjizat itu ialah percaya. Di sini orang melihat lebih dahulu sebelum percaya.
Walaupun demikian, masih ada kemungkinan bahwa pada peristiwa mukjizat yang paling menakjubkan sekali pun, masih ada orang tidak mau percaya. Pada peristiwa penyembuhan seorang bisu, misalnya orang banyak dengan takjub berkata: “Yang demikian belum pernah dilihat orang di Israel.” Tetapi orang Farisi berkata, “Dengan kuasa pemimpin setan Ia mengusir setan” (lihat Mat 9:33-34). Orang-orang yang menyaksikan peristiwa mukjizat tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu kaum Farisi dan orang banyak. Kedua kelompok tersebut tidak mampu menerangkan keajaiban yang terjadi. Keduanya mengakui bahwa itu adalah sesuatu yang sungguh luarbiasa, namun ada perbedaan yang mendasar. Orang banyak melihat karya Allah di dalam peristiwa mukjizat tersebut, sedangkan orang-orang Farisi melihatnya sebagai karya Iblis.
Ketika Yesus tiba di rumah kepala rumah ibadat itu dan melihat peniup-peniup seruling dan orang banyak ribut, berkatalah Ia, “Pergilah, karena anak ini tidak mati, tetapi tidur.” Tetapi mereka menertawakan Dia. Setelah orang banyak itu disuruh keluar, Yesus masuk dan memegang tangan anak itu, lalu bangkitlah anak itu. Dan tersebarlah kabar tentang hal itu ke seluruh daerah itu. (Mat 9:18-26)
Bacaan Pertama: Kej 28:10-22a; Mazmur Tanggapan: Mzm 91:1-4,14-15
Dalam dua mukjizat yang disajikan dalam bacaan Injil hari ini, Matius dengan cukup mencolok menekankan pentingnya iman-kepercayaan. Seorang perempuan yang dua belas tahun menderita pendarahan disembuhkan oleh Yesus hanya dengan menyentuh jubah-Nya, dan Yesus berkata kepadanya:“Teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Mat 9:22). Sang kepala sinagoga yang anaknya baru saja meninggal dunia, dengan penuh kepercayaan memohon kepada Yesus:“Anak perempuanku baru saja meninggal, tetapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup” (Mat 9:18). Menanggapi permohonannya Yesus pun menghidupkan anak perempuan yang telah meninggal dunia tersebut.
Sekilas lintas kepercayaan itu hanya merupakan suatu persiapan dan syarat psikologis saja, sehingga dengan demikian dapat menggiring orang kepada suatu pemikiran yang keliru bahwa mukjizat tidak lain tidak bukan adalah gejala psikologis belaka. Dalam hal ini kita harus mengingat baik-baik bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dibangkitkan dengan psikologi saja dan seorang buta tidak akan celik matanya oleh kerinduannya yang terbesar sekalipun. Hubungan antara mukjizat dan kepercayaan bukanlah hubungan psikologis, melainkan hubungan spiritual. Di sini ada dua aspek yang harus diperhatikan. Pertama: kepercayaan dapat mendahului mukjizat. Dengan demikian mukjizat merupakan penguat kepercayaannya, pemenuhan keinginan serta tujuan perjalanannya. Maka mukjizat itu melambangkan surga, yang hanya dapat dicapai dengan iman saja. Kedua: kepercayaan juga dapat timbul akibat mukjizat. Dalam hal ini mukjizat merupakan penguat dari pihak Allah kepada orang yang menjadi saluran berkat-Nya, yaitu menyatakan bahwa kata-kata orang itu dapat dipercaya. Lalu konsekuensi tunggal bagi orang yang melihat/mengalami mukjizat itu ialah percaya. Di sini orang melihat lebih dahulu sebelum percaya.
Walaupun demikian, masih ada kemungkinan bahwa pada peristiwa mukjizat yang paling menakjubkan sekali pun, masih ada orang tidak mau percaya. Pada peristiwa penyembuhan seorang bisu, misalnya orang banyak dengan takjub berkata: “Yang demikian belum pernah dilihat orang di Israel.” Tetapi orang Farisi berkata, “Dengan kuasa pemimpin setan Ia mengusir setan” (lihat Mat 9:33-34). Orang-orang yang menyaksikan peristiwa mukjizat tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu kaum Farisi dan orang banyak. Kedua kelompok tersebut tidak mampu menerangkan keajaiban yang terjadi. Keduanya mengakui bahwa itu adalah sesuatu yang sungguh luarbiasa, namun ada perbedaan yang mendasar. Orang banyak melihat karya Allah di dalam peristiwa mukjizat tersebut, sedangkan orang-orang Farisi melihatnya sebagai karya Iblis.
Jadi, mukjizat tidak memaksa orang untuk percaya, demikian pula kepercayaan tidak memaksa terjadinya mukjizat. Mengapa tidak? Karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas, dan Allah juga menghormati kebebasan tersebut sehingga tidak akan memaksakan kehendak-Nya. Kasihlah yang menjadi alasan Allah untuk mencipta. Dengan demikian hidup manusia ialah menjawab cintakasih itu dalam kebebasan. Lewat mukjizat Allah menyatakan diri kepada kita dan di dalamnya tampaklah cintakasih-Nya yang mau menolong kita. Oleh karena itu orang yang mau mengakui hal tersebut, dengan rela dia akan berkata bahwa dia percaya, percaya dengan penuh cintakasih. Yang ajaib dalam hal ini bukanlah bahwa Allah kadang-kadang melanggar hukum alam-Nya sendiri, melainkan bahwa Dia dengan itu semua tetap menanti-nanti di depan pintu kehendak bebas manusia. Dia mengetuk pintu tersebut tanpa sedikit pun niat untuk membukanya dengan paksa. Yang “ajaib” dalam hal ini adalah bahwa dengan rencana-Nya, Allah senantiasa memperhitungkan kebebasan manusia.
Seorang pribadi dapat memilih untuk membuka pintu hatinya bagi Allah, bagi kasih-Nya, atau dia dapat memilih alternatif untuk menutup diri dalam egoismenya dan puas dengan diri sendiri. Jadi iman-kepercayaan ialah mengambil langkah maju dengan bebas guna memasuki sebuah dunia baru yang bebas. Sebaliknya, ketidakpercayaan berarti menutup diri dalam kepicikan. Kepercayaan ialah persetujuan penuh kasih, sedangkan ketidakpercayaan ialah sebuah penolakan. Kepercayaan ialah karsa dan karya seorang pribadi yang hanya puas dengan hal-hal yang kekal-abadi saja, sedangkan ketidakpercayaan adalah semacam “pengangguran” orang yang hanya puas dengan diri sendiri.
Jadi, nilai dan makna hidup manusia ditentukan oleh pilihan mereka, memilih percaya atau memilih tidak percaya, memilih “ya” atau “tidak” terhadap undangan Allah, memilih hidup dalam kasih atau dalam kebencian.
Seorang pribadi dapat memilih untuk membuka pintu hatinya bagi Allah, bagi kasih-Nya, atau dia dapat memilih alternatif untuk menutup diri dalam egoismenya dan puas dengan diri sendiri. Jadi iman-kepercayaan ialah mengambil langkah maju dengan bebas guna memasuki sebuah dunia baru yang bebas. Sebaliknya, ketidakpercayaan berarti menutup diri dalam kepicikan. Kepercayaan ialah persetujuan penuh kasih, sedangkan ketidakpercayaan ialah sebuah penolakan. Kepercayaan ialah karsa dan karya seorang pribadi yang hanya puas dengan hal-hal yang kekal-abadi saja, sedangkan ketidakpercayaan adalah semacam “pengangguran” orang yang hanya puas dengan diri sendiri.
Jadi, nilai dan makna hidup manusia ditentukan oleh pilihan mereka, memilih percaya atau memilih tidak percaya, memilih “ya” atau “tidak” terhadap undangan Allah, memilih hidup dalam kasih atau dalam kebencian.
DOA:
Bapa surgawi, Engkau adalah pencipta langit dan bumi, terpujilah nama-Mu. Terima kasih penuh syukur kami ucapkan kepada-Mu karena Engkau menciptakan kami dengan kehendak bebas. Engkau tidak pernah memaksa kami dalam membuat pilihan-pilihan dalam hidup kami. Biarlah Roh Kudus senantiasa membentuk kami menjadi murid-murid setia Yesus Kristus yang selalu mau dan mampu membuat pilihan-pilihan yang sesuai dengan kehendak-Mu. Ampunilah kami, ya Bapa, apabila dalam hidup ini, kami terkadang lebih mengandalkan diri kami sendiri dalam membuat pilihan. Terpujilah Allah, Tritunggal Mahakudus, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, sepanjang segala masa.
Amin.