Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerikho. Ketika Yesus keluar dari Yerikho bersama-sama murid-murid-Nya dan orang banyak yang berbondong-bondong ada seorang pengemis yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan. Ketika didengarnya bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Banyak orang menegurnya supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru, “Anak Daud, kasihanilah aku!” Yesus berhenti dan berkata, “Panggillah dia!” Mereka memanggil orang buta itu dan berkata kepadanya, “Teguhkanlah hatimu, berdirilah, ia memanggil engkau.” Orang buta itu menanggalkan jubahnya, lalu segera berdiri dan pergi kepada Yesus. Tanya Yesus kepadanya, “Apa yang kaukehendaki Kuperbuat bagimu?” Jawab orang buta itu, “Rabuni, aku ingin dapat melihat!” Lalu kata Yesus kepadanya, “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Saat itu juga ia dapat melihat, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. (Mrk 10:46-52)
Bacaan Pertama: Yer 31:7-9;
Bacaan Pertama: Yer 31:7-9;
Mazmur Tanggapan: Mzm 126:1-6;
Bacaan Kedua: Ibr 5:1-6
Bacaan Pertama hari ini dialamatkan kepada orang-orang Yahudi yang hidup dalam pengasingan di Babel. Barangkali “berada” di Babel adalah suatu cara yang lebih baik untuk mengatakannya, karena pada kenyataannya mereka adalah orang-orang tertindas, hidup sebagai para budak di dalam sebuah negeri asing yang terletak jauh dari tempat tinggal mereka di Palestina. Selama periode pengasingan (pembuangan), semangat keagamaan mereka hampir seluruhnya terserap dalam permohonan yang tak henti-hentinya agar supaya Allah akan mengingat mereka dan membebas-merdekakan mereka. Di atas segalanya, mereka rindu sekali untuk kembali ke negeri mereka sendiri, ke kota Yerusalem yang mereka cintai, dan teristimewa ke Bait Suci, di mana mereka menyembah Tuhan -Allah. Allah, dalam bacaan dari Kitab Yeremia ini, berjanji bahwa Dia sungguh akan membebaskan umat-Nya dan memimpin mereka kembali dengan selamat ke negeri asal mereka. Allah memegang janji-Nya. Namun, setelah itu suatu hal yang aneh terjadi. Orang-orang itu (umat Allah) mulai menjauhi-Nya. Selama dalam pembuangan, yang mereka pikirkan tidak lain adalah Allah, satu-satunya pengharapan mereka. Setelah Allah memenuhi janji-Nya, walaupun mereka mulai dekat lagi dengan Bait Suci, praktis mereka melupakan segala sesuatu tentang Allah.
Dalam bacaan Injil hari ini, kita melihat bahwa yang mempunyai kebutuhan akan pertolongan Allah bukanlah sebuah umat, melainkan seorang pribadi. Bartimeus – Anak Timeus – adalah seorang buta. Dari gambaran mendalam yang diberikan oleh Injil berkenan dengan insiden ini, kita dapat memperoleh kesan tersendiri bahwa Bartimeus adalah seorang yang masih muda usia, bukan seorang tua yang daya penglihatannya kian menurun, walaupun secara bertahap, yang hanya beberapa tahun saja sebagai sisa hidupnya di atas bumi. Seluruh hidupnya terbentang di hadapannya, namun demikian ia tertindas oleh segala hal yang menimpa dirinya, seorang budak dari kegelapan yang terus-menerus dan bersifat tetap. Jadi, tidak mengherankanlah apabila orang buta ini tidak ragu-ragu untuk berseru, “Yesus, anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:47) ketika dia mendengar bahwa Yesus-lah yang lewat. Ketika dia ditegur oleh banyak orang yang mencoba untuk menghentikan teriakannya, dia malah berseru dengan lebih keras lagi,“Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:48).
Pada saat itu, Bartimeus tidak memikirkan apa pun kecuali kemungkinan bahwa Yesus akan menyembuhkan dirinya dari kebutaan. Dan Yesus memang menyembuhkannya! Pada saat ia mempunyai kebutuhan yang besar, Bartimeus berpaling kepada Yesus, namun kita harus bertanya-tanya apakah yang akan terjadi setelah kesembuhannya. Apakah imannya kepada Yesus akan mengendur secara berangsur-angsur setelah dirinya dibebaskan dari kebutaan, seperti yang terjadi dengan nenek moyangnya setelah mereka dibebas-merdekakan dari pembuangan di Babel? Kita tidak memiliki indikasi kuat bahwa Bartimeus adalah salah satu dari sedikit orang yang menjadi pengikut Yesus yang setia, namun kita juga mau melihatnya secara positif. Injil mencatat yang berikut ini: Saat itu juga ia dapat melihat, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya (Mrk 10:52).
Ayat terahir ini merupakan puncak seluruh kisah. Kiranya pertama kali seumur hidup Bartimeus sungguh bergerak bebas! Tetapi saat ia sembuh, Bartimeus menggunakan kebebasan yang baru diperoleh untuk mengikuti Yesus. Mana yang lebih baik menggunakan kebebasan daripada mengikat diri kepada Tuhan?
Bacaan Pertama hari ini dialamatkan kepada orang-orang Yahudi yang hidup dalam pengasingan di Babel. Barangkali “berada” di Babel adalah suatu cara yang lebih baik untuk mengatakannya, karena pada kenyataannya mereka adalah orang-orang tertindas, hidup sebagai para budak di dalam sebuah negeri asing yang terletak jauh dari tempat tinggal mereka di Palestina. Selama periode pengasingan (pembuangan), semangat keagamaan mereka hampir seluruhnya terserap dalam permohonan yang tak henti-hentinya agar supaya Allah akan mengingat mereka dan membebas-merdekakan mereka. Di atas segalanya, mereka rindu sekali untuk kembali ke negeri mereka sendiri, ke kota Yerusalem yang mereka cintai, dan teristimewa ke Bait Suci, di mana mereka menyembah Tuhan -Allah. Allah, dalam bacaan dari Kitab Yeremia ini, berjanji bahwa Dia sungguh akan membebaskan umat-Nya dan memimpin mereka kembali dengan selamat ke negeri asal mereka. Allah memegang janji-Nya. Namun, setelah itu suatu hal yang aneh terjadi. Orang-orang itu (umat Allah) mulai menjauhi-Nya. Selama dalam pembuangan, yang mereka pikirkan tidak lain adalah Allah, satu-satunya pengharapan mereka. Setelah Allah memenuhi janji-Nya, walaupun mereka mulai dekat lagi dengan Bait Suci, praktis mereka melupakan segala sesuatu tentang Allah.
Dalam bacaan Injil hari ini, kita melihat bahwa yang mempunyai kebutuhan akan pertolongan Allah bukanlah sebuah umat, melainkan seorang pribadi. Bartimeus – Anak Timeus – adalah seorang buta. Dari gambaran mendalam yang diberikan oleh Injil berkenan dengan insiden ini, kita dapat memperoleh kesan tersendiri bahwa Bartimeus adalah seorang yang masih muda usia, bukan seorang tua yang daya penglihatannya kian menurun, walaupun secara bertahap, yang hanya beberapa tahun saja sebagai sisa hidupnya di atas bumi. Seluruh hidupnya terbentang di hadapannya, namun demikian ia tertindas oleh segala hal yang menimpa dirinya, seorang budak dari kegelapan yang terus-menerus dan bersifat tetap. Jadi, tidak mengherankanlah apabila orang buta ini tidak ragu-ragu untuk berseru, “Yesus, anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:47) ketika dia mendengar bahwa Yesus-lah yang lewat. Ketika dia ditegur oleh banyak orang yang mencoba untuk menghentikan teriakannya, dia malah berseru dengan lebih keras lagi,“Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:48).
Pada saat itu, Bartimeus tidak memikirkan apa pun kecuali kemungkinan bahwa Yesus akan menyembuhkan dirinya dari kebutaan. Dan Yesus memang menyembuhkannya! Pada saat ia mempunyai kebutuhan yang besar, Bartimeus berpaling kepada Yesus, namun kita harus bertanya-tanya apakah yang akan terjadi setelah kesembuhannya. Apakah imannya kepada Yesus akan mengendur secara berangsur-angsur setelah dirinya dibebaskan dari kebutaan, seperti yang terjadi dengan nenek moyangnya setelah mereka dibebas-merdekakan dari pembuangan di Babel? Kita tidak memiliki indikasi kuat bahwa Bartimeus adalah salah satu dari sedikit orang yang menjadi pengikut Yesus yang setia, namun kita juga mau melihatnya secara positif. Injil mencatat yang berikut ini: Saat itu juga ia dapat melihat, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya (Mrk 10:52).
Ayat terahir ini merupakan puncak seluruh kisah. Kiranya pertama kali seumur hidup Bartimeus sungguh bergerak bebas! Tetapi saat ia sembuh, Bartimeus menggunakan kebebasan yang baru diperoleh untuk mengikuti Yesus. Mana yang lebih baik menggunakan kebebasan daripada mengikat diri kepada Tuhan?
Kita semua kiranya dapat menerima kenyataan bahwa apabila kita berada dalam kesusahan besar, ketika kita sungguh membutuhkan pertolongan, maka hampir secara instinktif kita akan berpaling kepada Allah supaya memperoleh pertolongan. Doa sedemikian tentunya baik, namun mengapa kita merasa begitu susah mengingat untuk mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah? Satu alasan mungkin karena kita mempunyai ide bahwa doa pada dasarnya adalah mengajukan permohonan kepada Allah untuk hal-hal yang kita butuhkan. Doa mempunyai makna yang jauh melampaui dari sekadar pengajuan permohonan kepada Allah. Doa mencakup juga juga memuji Allah untuk kebaikan dan kuat-kuasa-Nya, dan berterima kasih penuh syukur kepada-Nya karena Dia juga meneruskan kebaikan dan kuat-kuasa-Nya kepada kita.
Barangkali alasan mengapa kita tidak berterima kasih kepada Allah dengan cara yang sepatutnya, jauh lebih mendalam daripada sekadar karena “terlupa”, atau karena gagal untuk menyadari bahwa doa mencakup juga ungkapan syukur. Di kedalaman hati kita, kita mungkin merasakan bahwa ada hal-hal kecil untuk mana kita harus merasa bersyukur. Hidup itu sulit – misalnya mengupayakan hidup perkawinan yang berbahagia, melakukan yang terbaik untuk membesarkan anak-anak kita pada saat-saat di mana situasi-kondisi hidup modern kelihatan begitu menentang kita, bekerja untuk memenuhi berbagai kebutuhan di bidang keuangan walaupun kelihatannya sulit sekali, dan mempertanyakan apakah semua itu bukanlah upaya yang sia-sia. Kita dapat mengembangkan sejenis myopia atau kesempitan pandangan, selagi kita hanya melihat masalah-masalah yang sekarang ada di bawah hidung kita dan gagal untuk memusatkan perhatian pada segala hal indah yang Allah telah lakukan bagi kita dan janjikan kepada kita di masa depan. Memang masalah kita adalah “kesempitan pandangan rohani” (spiritual myopia). Jadi, apabila kita ingin memohon sesuatu dalam doa, kita harus memohon kepada Yesus untuk menjernihkan visi spiritual kita, seperti Dia menyembuhkan Bartimeus dari kebutaan fisiknya. Iman adalah satu-satunya penyembuh atas kesempitan pandangan rohani, suatu iman mendalam yang memampukan kita untuk melihat dengan jelas kebenaran dari mazmur tanggapan hari ini: “TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita” (Mzm 126:3).
Yesus berkata kepada Bartimeus: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (Mrk 10:52). Memang tidak ada obat penyembuh selain iman. Tanpa iman sejati, kita akan melihat agama seperti balon seorang anak kecil, yang penuh dengan gambar indah di bagian luar, namun hanya diisi dengan udara di bagian dalam. Balon seperti itu mudah pecah. Dengan iman, kita dapat melihat dari bagian luar balon tersebut dan menyadari bahwa balon itu dipenuhi dengan kekuatan dan kebaikan Allah, dan balon tersebut akan berkembang secara konstan tanpa pernah meletus. Hanya dengan iman kita dapat melihat dengan jelas bahwa “TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita”, dan bahwa kita mempunyai alasan mendalam untuk memuji dan berterima penuh syukur kepada-Nya untuk kuat-kuasa-Nya dan kasih-Nya.
Barangkali alasan mengapa kita tidak berterima kasih kepada Allah dengan cara yang sepatutnya, jauh lebih mendalam daripada sekadar karena “terlupa”, atau karena gagal untuk menyadari bahwa doa mencakup juga ungkapan syukur. Di kedalaman hati kita, kita mungkin merasakan bahwa ada hal-hal kecil untuk mana kita harus merasa bersyukur. Hidup itu sulit – misalnya mengupayakan hidup perkawinan yang berbahagia, melakukan yang terbaik untuk membesarkan anak-anak kita pada saat-saat di mana situasi-kondisi hidup modern kelihatan begitu menentang kita, bekerja untuk memenuhi berbagai kebutuhan di bidang keuangan walaupun kelihatannya sulit sekali, dan mempertanyakan apakah semua itu bukanlah upaya yang sia-sia. Kita dapat mengembangkan sejenis myopia atau kesempitan pandangan, selagi kita hanya melihat masalah-masalah yang sekarang ada di bawah hidung kita dan gagal untuk memusatkan perhatian pada segala hal indah yang Allah telah lakukan bagi kita dan janjikan kepada kita di masa depan. Memang masalah kita adalah “kesempitan pandangan rohani” (spiritual myopia). Jadi, apabila kita ingin memohon sesuatu dalam doa, kita harus memohon kepada Yesus untuk menjernihkan visi spiritual kita, seperti Dia menyembuhkan Bartimeus dari kebutaan fisiknya. Iman adalah satu-satunya penyembuh atas kesempitan pandangan rohani, suatu iman mendalam yang memampukan kita untuk melihat dengan jelas kebenaran dari mazmur tanggapan hari ini: “TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita” (Mzm 126:3).
Yesus berkata kepada Bartimeus: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (Mrk 10:52). Memang tidak ada obat penyembuh selain iman. Tanpa iman sejati, kita akan melihat agama seperti balon seorang anak kecil, yang penuh dengan gambar indah di bagian luar, namun hanya diisi dengan udara di bagian dalam. Balon seperti itu mudah pecah. Dengan iman, kita dapat melihat dari bagian luar balon tersebut dan menyadari bahwa balon itu dipenuhi dengan kekuatan dan kebaikan Allah, dan balon tersebut akan berkembang secara konstan tanpa pernah meletus. Hanya dengan iman kita dapat melihat dengan jelas bahwa “TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita”, dan bahwa kita mempunyai alasan mendalam untuk memuji dan berterima penuh syukur kepada-Nya untuk kuat-kuasa-Nya dan kasih-Nya.
DOA:
Bapa surgawi, kami bersyukur penuh terima kasih kepada-Mu karena dalam Yesus Kristus, Putera-Mu, Terang-Mu datang di dunia, membebaskan kami dari kegelapan dan mengundang kami ke jalan kehidupan. Ia beserta kami selalu, asal kami memiliki mata untuk melihat; dan Ia berbicara kepada kami selalu, asal kami memiliki telinga untuk mendengar. Berilah kepada kami mata baru dan telinga baru, agar kami mampu melihat kehadiran-Nya dan mendengar panggilan-Nya dalam hidup kami dan hidup orang lain. Berilah juga kepada kami keberanian untuk mengikuti jejak-Nya dengan setia.
Amin.