Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus, “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.” Tetapi Yesus berkata kepadanya, “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” Kata-Nya lagi kepada mereka, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu.” Kemudian Ia menyampaikan kepada mereka suatu perumpamaan, “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan akan menyimpan di dalamnya semua gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, engkau memiliki banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau yang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil daripadamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.” (Luk 12:13-21)
Bacaan Pertama: Rm 4:20-25; Mazmur Tanggapan: Luk 1:69-75
Pesan Yesus dalam bacaan Injil hari ini jelas: “Hindarilah ketamakan/keserakahan dalam segala bentuknya. Seseorang dapat saja kaya dengan harta-benda duniawi, namun miliknya itu tidak dapat memberi kehidupan kekal baginya.”
Seorang pribadi yang rendah hati dan memiliki kemurahan hati, yang hidupnya berpusat pada Allah dan menanggapi dengan baik karunia iman yang dianugerahkan-Nya kepada dirinya akan melihat kehampaan dari segala keuntungan materiil. Memang kesombongan kita senantiasa menyebabkan rasa haus akan keuntungan materiil tersebut, tambah ini dan tambah itu. Namun kiranya rasa haus tersebut adalah sesuatu yang sia-sia tanpa kesudahan. Bahkan seorang yang tidak memiliki iman kepada/akan Yesus akan melihat kehampaan yang dihasilkan oleh sekadar harta kekayaan yang bersifat materiil. Ia akan belajar dari pengalamannya betapa tak berharganya dan penuh frustrasi-nya “kebahagiaan” (palsu) yang diperolehnya dari penyembahannya kepada “mamon” dalam upaya pengejarannya akan kepuasan/kenikmatan dalam harta benda dll. yang bersifat duniawi.
Jika kita terus saja berputar-putar di sekeliling upaya pencarian harta kekayaan, maka imajinasi kita dapat disesatkan dan kita pun dapat dibuat yakin bahwa Allah itu berada jauh di sana, bahkan keberadaan-Nya itu jauh dari riil. Tujuan-tujuan materiil yang jauh dan tak dapat dicapai itu sungguh dapat menyesatkan karena terasa dekat dan mudah dicapai. Kita menjadi semakin ngotot dalam mengejar kekayaan duniawi! Mengejar dan terus mengejar! Akhirnya, seperti orang kaya yang bodoh dalam perumpamaan Yesus, kita berkata: “Jiwaku, engkau memiliki banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Luk 12:19).
Jadi, ketamakan akhirnya menguasai diri kIta. Allah sesungguhnya dekat dengan kita, namun imajinasi yang penuh beban hampir tidak dapat melihat Dia dari kejauhan. Harta-kekayaan dan kenikmatan hidup menjadi realitas kita dan kelihatannya senantiasa berada dalam jangkauan kita. Kita berkata kepada diri kita sendiri: “Satu lagi saja keuntungan yang kuperoleh, maka aku pun memperoleh apa yang kukehendaki.” Jika aku cukup beruntung untuk memperolehnya, maka api keserakahan pun berkobar lagi. “Satu lagi! Satu lagi! Satu lagi!, tetapi tanpa henti. Setiap sukses baru menjadi lebih pahit daripada sukses sebelumnya, sampai akhirnya kita sampai kepada tingkat keserakahan yang sudah gila-gilaan. Benarlah pepatah Inggris yang berbunyi: Greed begets greed!
Sementara kita melanjutkan mengundang hukuman dan penghancuran atas diri kita yang disebabkan oleh sikap kita yang tidak tahu terima kasih dan juga ketamakan, belas kasih Allah terus berlanjut. Kesabaran Allah yang tak mengenal batas itu senantiasa mengejar kita.
Jadi, ketamakan akhirnya menguasai diri kIta. Allah sesungguhnya dekat dengan kita, namun imajinasi yang penuh beban hampir tidak dapat melihat Dia dari kejauhan. Harta-kekayaan dan kenikmatan hidup menjadi realitas kita dan kelihatannya senantiasa berada dalam jangkauan kita. Kita berkata kepada diri kita sendiri: “Satu lagi saja keuntungan yang kuperoleh, maka aku pun memperoleh apa yang kukehendaki.” Jika aku cukup beruntung untuk memperolehnya, maka api keserakahan pun berkobar lagi. “Satu lagi! Satu lagi! Satu lagi!, tetapi tanpa henti. Setiap sukses baru menjadi lebih pahit daripada sukses sebelumnya, sampai akhirnya kita sampai kepada tingkat keserakahan yang sudah gila-gilaan. Benarlah pepatah Inggris yang berbunyi: Greed begets greed!
Sementara kita melanjutkan mengundang hukuman dan penghancuran atas diri kita yang disebabkan oleh sikap kita yang tidak tahu terima kasih dan juga ketamakan, belas kasih Allah terus berlanjut. Kesabaran Allah yang tak mengenal batas itu senantiasa mengejar kita.
DOA:
Tuhan Yesus, semoga belas kasih-Mu pada akhirnya mengalahkan sikap kami yang tidak tahu berterima kasih kepada-Mu, walaupun tidak mudah kami bagi kami untuk mengubah sikap buruk kami itu. Kami juga ingat, Tuhan, bahwa penderitaan karena lapar si “anak hilang” (Luk 15:11-32) bukanlah suatu pengalaman yang mudah baginya, namun hal itu membawanya balik pulang ke rumah ayahnya.
Amin.