(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Minggu Biasa XXVII [TAHUN B] – 4 Oktober 2015)
Keluarga Besar Fransiskan: Hari Raya S. Fransiskus dari Assisi
Keluarga Besar Fransiskan: Hari Raya S. Fransiskus dari Assisi
Lalu datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka, “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka, “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka, “Justru karena kekerasan hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Padahal pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya lagi kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka, “Siapa saja yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia berzina terhadap istrinya itu. Jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berzina.” (Mrk 10:2-12)
Bacaan Pertama: Kej 2:18-24; Mazmur Tanggapan: Mzm 128:1-6; Bacaan Kedua: Ibr 2:9-11
Pertanyaan orang-orang Farisi mengenai perkawinan bukanlah sekadar sebuah pertanyaan yang innocent dari sekelompok orang percaya yang terkejut campur bingung. Sebaliknyalah – seperti yang telah mereka lakukan sepanjang karya pelayanan Yesus – orang-orang Farisi sedang mencari jalan untuk menjebak Yesus dalam kata-kata yang diucapkan-Nya sendiri.
Walaupun diformulasikan seakan sebuah jawaban sederhana “ya” atau “tidak” akan mencukupi, pertanyaan mereka menyangkut tafsir-tafsir yang kompleks dari hukum Ibrani. Sebagai tambahan, jika Yesus menjawab dengan satu cara, maka Dia dapat dituduh mengingkari/memungkiri kebenaran dari pernyataan keras Yohanes Pembaptis tentang Herodes Antipas yang menceraikan istrinya dan menikahi Herodias, iparnya sendiri. Sebaliknya, jika Yesus setuju dengan Yohanes, maka Dia dapat menjadi sasaran kemurkaan Herodes.
Yesus tidak membiarkan diri-Nya menjadi bulan-bulanan yang mudah terjerumus ke dalam jebakan orang-orang Farisi. Sebaliknya, Yesus berupaya untuk mengangkat diskusi ke suatu tingkat yang lebih tinggi dan mengambil manfaat dari kesempatan untuk berbicara lagi tentang hasrat Bapa di surga untuk mempersatukan manusia dalam kasih. Dengan mencoba mengakali Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan di bidang hukum yang dipenuhi duri tersebut, orang-orang Farisi luput melihat pokok masalah tentang rencana Allah bagi perkawinan.
Yesus menggiring orang-orang Farisi tersebut untuk kembali kepada titik awal, pada saat Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej 1:26,27) dan dalam perkawinan dua pribadi – laki-laki dan perempuan – tersebut akan menjadi satu daging (Kej 2:24). Yesus menyatakan perkawinan sebagai suatu anugerah/karunia dari Allah yang dimaksudkan untuk mencerminkan kesatuan/perpaduan yang didambakan-Nya terwujud antara diri-Nya dan umat-Nya. Dua macam kesatuan/perpaduan tersebut – antara laki-laki dan perempuan, atau antara Allah dan umat-Nya – dimaksudkan untuk menjadi begitu akrab/intim sehingga tidak boleh dipecah. Sungguh merupakan suatu privilese untuk bersatu secara akrab/intim dengan Allah dan dengan seorang pribadi manusia lainnya!
Selagi kita mempertimbangkan sikon perkawinan di dalam dunia, barangkali juga perkawinan kita sendiri, maka kita barangkali tergoda untuk hanya melihat kesulitan-kesulitan yang telah dialami dan sedang dihadapi, dan melupakan kuat-kuasa Allah dan kasih-Nya.
Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus, marilah kita berdoa untuk semua hidup perkawinan dewasa ini, agar semua dilindungi dan dibangkitkan menjai tanda-tanda indah dari kasih Allah bagi umat-Nya di mana-mana.
Bacaan Pertama: Kej 2:18-24; Mazmur Tanggapan: Mzm 128:1-6; Bacaan Kedua: Ibr 2:9-11
Pertanyaan orang-orang Farisi mengenai perkawinan bukanlah sekadar sebuah pertanyaan yang innocent dari sekelompok orang percaya yang terkejut campur bingung. Sebaliknyalah – seperti yang telah mereka lakukan sepanjang karya pelayanan Yesus – orang-orang Farisi sedang mencari jalan untuk menjebak Yesus dalam kata-kata yang diucapkan-Nya sendiri.
Walaupun diformulasikan seakan sebuah jawaban sederhana “ya” atau “tidak” akan mencukupi, pertanyaan mereka menyangkut tafsir-tafsir yang kompleks dari hukum Ibrani. Sebagai tambahan, jika Yesus menjawab dengan satu cara, maka Dia dapat dituduh mengingkari/memungkiri kebenaran dari pernyataan keras Yohanes Pembaptis tentang Herodes Antipas yang menceraikan istrinya dan menikahi Herodias, iparnya sendiri. Sebaliknya, jika Yesus setuju dengan Yohanes, maka Dia dapat menjadi sasaran kemurkaan Herodes.
Yesus tidak membiarkan diri-Nya menjadi bulan-bulanan yang mudah terjerumus ke dalam jebakan orang-orang Farisi. Sebaliknya, Yesus berupaya untuk mengangkat diskusi ke suatu tingkat yang lebih tinggi dan mengambil manfaat dari kesempatan untuk berbicara lagi tentang hasrat Bapa di surga untuk mempersatukan manusia dalam kasih. Dengan mencoba mengakali Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan di bidang hukum yang dipenuhi duri tersebut, orang-orang Farisi luput melihat pokok masalah tentang rencana Allah bagi perkawinan.
Yesus menggiring orang-orang Farisi tersebut untuk kembali kepada titik awal, pada saat Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej 1:26,27) dan dalam perkawinan dua pribadi – laki-laki dan perempuan – tersebut akan menjadi satu daging (Kej 2:24). Yesus menyatakan perkawinan sebagai suatu anugerah/karunia dari Allah yang dimaksudkan untuk mencerminkan kesatuan/perpaduan yang didambakan-Nya terwujud antara diri-Nya dan umat-Nya. Dua macam kesatuan/perpaduan tersebut – antara laki-laki dan perempuan, atau antara Allah dan umat-Nya – dimaksudkan untuk menjadi begitu akrab/intim sehingga tidak boleh dipecah. Sungguh merupakan suatu privilese untuk bersatu secara akrab/intim dengan Allah dan dengan seorang pribadi manusia lainnya!
Selagi kita mempertimbangkan sikon perkawinan di dalam dunia, barangkali juga perkawinan kita sendiri, maka kita barangkali tergoda untuk hanya melihat kesulitan-kesulitan yang telah dialami dan sedang dihadapi, dan melupakan kuat-kuasa Allah dan kasih-Nya.
Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus, marilah kita berdoa untuk semua hidup perkawinan dewasa ini, agar semua dilindungi dan dibangkitkan menjai tanda-tanda indah dari kasih Allah bagi umat-Nya di mana-mana.
DOA:
Bapa surgawi, kami berterima kasih penuh syukur untuk kasih-Mu yang berlimpah bagi kami semua. Penuhilah hati kami dengan kasih bagi-Mu yang lebih mendalam. Semoga kasih-Mu bagi kami mengalir juga kepada orang-orang lain lewat diri kami masing-masing, guna membawa kesembuhan dan rekonsiliasi.
Amin.