Selamat Datang di Blog Patria Jaya dsk. - Santa Theresia
Wilayah 4, Paroki Lubang Buaya - Gereja Kalvari, Jakarta Timur

21 Oktober 2015

Aku Datang Untuk Melemparkan Api Ke Bumi

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXIX – Kamis, 22 Oktober 2015)
Peringatan S. Yohanes Paulus II, Paus




“Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku harapkan, api itu telah menyala! Aku harus dibaptis dengan suatu baptisan, dan betapa susah hati-Ku, sebelum hal itu terlaksana! Kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga. Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya.” (Luk 12:49-53)

Bacaan Pertama: Rm 6:19-23; Mazmur Tanggapan: Mzm 1:1-4,6


Selagi Yesus dengan penuh keyakinan melakukan perjalanan menuju kematian-Nya di Yerusalem, Ia berbicara mengenai “melemparkan api ke bumi”. Dalam pengertian alkitabiah, api dimaknai sebagai “pemurnian dan penghakiman”; membersihkan dan menyiapkan kita untuk membalikkan hati kita sepenuhnya kepada Allah dalam kasih. Api yang dimaksudkan Yesus adalah api yang sama seperti yang dijanjikan oleh Yohanes Pembaptis, ketika dia berkata: “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa daripada aku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk 3:16). Gambaran Roh Kudus dan api mengindikasikan bahwa apabila kita mengikuti Allah, maka kita dapat mengharapkan untuk mengalami pembersihan dan penghakiman. Hal ini menyangkut perjuangan, penderitaan, dan bahkan pengejaran serta penganiayaan atas diri mereka yang mencari Allah.

Sepanjang sejarah Gereja, ada banyak sekali orang, baik perempuan maupun laki-laki yang – karena iman-kepercayaan mereka kepada Yesus Kristus – mengalami penderitaan, malah sampai kepada kematian. Seorang tokoh awam yang patut dicontoh adalah Thomas More. Sebagai seorang anggota Ordo Ketiga Santo Fransiskus di negeri Inggris, Thomas More adalah tanda-lawan pada zamannya. Kehidupan-saleh yang dijalaninya, kesetiaannya kepada Gereja yang tak tergoyahkan; dan semuanya itu dibayar dengan darahnya sendiri. Kehidupannya seharusnya menjadi teladan bagi para awam Kristiani yang berkiprah di dunia sosial-politik. Ia adalah putera dari seorang ksatria dan sejak kecil sudah hidup saleh.

Karir Thomas More sebagai negarawan dimulai pada tahun 1510, karir ini terus menanjak dengan pesat sampai mencapai puncaknya pada tahun 1529 ketika dia diangkat menjadi Lord High Chancellormenggantikan Kardinal Wolsey. Meskipun sudah menjadi pejabat negara puncak, dia masih menjalankan hidup rohaninya seperti sediakala. Sementara itu raja Henry VIII sudah merasa bosan dengan permaisurinya yang sah (Katarina dari Aragon) dan dia berahi pada salah seorang dayang-dayang di istana (sudah menikah) yang ber-nama Anna Boleyn dan ingin menikahinya. Henry VIII sudah mencoba mendapatkan izin dari Sri Paus agar dia boleh menceraikan permaisurinya dan menikah dengan Anna Boleyn. Sri Paus tidak setuju. Takhta Suci dengan benar menghukum Henry VIII itu, namun sang raja malah memperburuk hubungannya dengan Takhta Suci dan mengangkat dirinya menjadi kepala dari Church of England (Gereja Inggris = Anglikan). Persetujuan atas undang-undang yang mengatur pengangkatan raja sebagai kepala Gereja Inggris dimungkinkan karena parlemen yang lemah. Para uskup dan imam harus mengangkat sumpah untuk mengakui sang raja sebagai atasan mereka. Siapa saja yang tidak setuju dengan keputusan raja ini akan dihukum mati. Orang pertama yang menentang raja adalah pejabat tinggi negara yang selama ini sangat setia kepada raja, Thomas More.

Thomas More yakin dan percaya, bahwa tidak seorang pun pemimpin negara yang dapat mempunyai yurisdiksi atas Gereja Kristus. Hal inilah yang menjadi “biaya kemuridan” bagi dirinya dalam mengikuti jejak sang Guru, Yesus Kristus. Meskipun berhadapan dengan raja sebagai penguasa tertinggi negeri Inggris yang juga menguasai parlemen yang lemah, sebagai pejabat tinggi negara Thomas More dengan gigih menolak memberi persetujuan-nya atas perceraian raja Henry VIII. Ia juga tidak mau mengakui Henry VIII sebagai kepala Gereja Inggris yang memutuskan hubungan dengan Takhta Suci di Roma dan menolak Sri Paus sebagai pemimpin Gereja, padahal banyak sekali uskup dan imam memberi per-setujuan mereka …… karena takut mati. Dia setia kepada Kristus lewat kesetiaannya kepada Gereja. Thomas More tidak mau mundur sedikit pun dalam kesetiaannya kepada Kristus; sikap dan perilaku ini membawanya ke dalam kegelapan ruang penjara dan akhir-nya kematian. Thomas More adalah contoh dari seseorang yang memperkenankan api Kristus membakar dirinya. Seorang saksi (martir) Kristus yang sejati!


DOA: 

Tuhan Yesus, ajarlah aku untuk mengasihi-Mu dengan benar, dan untuk berani menyingkirkan segala hasratku akan kenyamanan dan kenikmatan dunia, serta hasrat agar selalu dapat diterima oleh orang-orang lain walaupun dengan mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran iman. Ajarlah aku juga untuk dapat tetap sabar dan penuh sukacita dalam menghadapi berbagai tentangan, tantangan dan serangan dari siapa saja yang tidak menyukai aku oleh karena Engkau-lah yang aku imani, sebagai Tuhan dan Juruselamat-ku. Buatlah agar aku dapat berjuang dengan tekun dan berani selagi turut mengambil bagian dalam menegakkan kerajaan-Mu di dunia ini. 
Amin.