Pria berkulit hitam itu menggenggam pistol. Para penumpang bus ketakutan. Dengan wajah merah ia berteriak mengeluarkan ancaman. Polisi di hadapannya berupaya menenangkan pria frustrasi yang membahayakan sekitarnya itu dengan berkata, "Aku tahu kamu sedang marah; tapi kamu harus menguasainya sebelum kemarahan itu yang menguasai kamu." Demikian sepenggal adegan film yang sempat menyergap perhatian saya sejenak.
Saat itu Daud sedang marah. Ia naik pitam mendengar laporan anak buahnya tentang penghinaan Nabal, orang Karmel itu (ay. 13). Bersama pasukannya, ia siap membantai Nabal dan semua pegawainya. Syukurlah, Tuhan mencegahnya. Dia tak menghendaki Daud "bertindak sendiri dalam mencari keadilan" (ay. 26, 31, 33). Tindakan yang dipenuhi amarah bakal memperbesar masalah dan menurunkan martabat Daud sebagai calon pemimpin. Tuhan pun mengutus Abigail, istri Nabal, untuk meredakan kegeraman itu dan sekaligus menghindarkan Daud dari tindakan main hakim sendiri.
Setiap kita bisa dan pasti pernah marah. Sebenarnya perasaan marah adalah sebuah anugerah, sebuah indikasi bahwa ada masalah. Tetapi, janganlah kita mencoba-coba membereskan masalah dengan tindakan yang dipenuhi amarah. Masalah semestinya dihadapi dengan hati tenang dan kepala dingin. Masalah malah akan kian runyam jika ditangani dengan amarah. Maka, ketika amarah timbul, segera kendalikan sebelum kita yang dikuasai olehnya.
KEMARAHAN MEMBERITAHU KITA AKAN ADANYA MASALAH,
TETAPI BUKAN CARA UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH.