Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah. (Lukas 12:21)
Kaya di hadapan Allah? Sepertinya saat ini orang tidak terlalu memikirkannya. Menurut mereka, kaya secara materiil lebih menarik daripada kaya di hadapan Allah. Bukankah cara pandang ini juga telah memengaruhi banyak orang Kristen? Misalnya, ketika kita diminta untuk memilih antara bisnis yang memberi keuntungan besar dan beribadah, mana yang akan kita pilih?
Perumpamaan tentang "orang kaya yang bodoh" diakhiri dengan satu kesimpulan: orang yang hidup untuk memperkaya diri secara materiil, tetapi tidak kaya di hadapan Allah, ia bersikap bodoh. Menjadi kaya secara materiil memang tidak salah. Yang salah, jika dalam mengejar kekayaan, orang itu mengabaikan kekekalan, atau sama saja dengan ia mengabaikan Tuhan! Orang kaya itu lebih memilih Mamon; ia menipu dirinya dengan merasa yakin bahwa hidupnya sudah memiliki jaminan. Tuhan juga mengajar bahwa kekayaan akan bernilai dan bermanfaat bila pemiliknya mempunyai hubungan yang benar dengan Allah. Ia menerima kekayaan yang Allah percayakan dengan hati bersyukur, dan ia akan mengelolanya secara baik dan bertanggung jawab di hadapan Allah.
Orang yang berprinsip menjadi kaya di hadapan Allah akan menerima kekayaan dari Allah dan dengan sukarela dan sukacita memakai hartanya untuk melayani Allah. Ia tahu bahwa memuliakan Allah itu lebih utama dari segala sesuatu. Ia kaya di hadapan Allah dan menjadi pelayan yang setia. Sudahkah kita kaya di hadapan Allah? Apakah kita mengelola kepercayaan Tuhan untuk kemuliaan nama-Nya?
ADALAH SEBUAH KEBODOHAN KETIKA KITA MENGEJAR BERKAT,
NAMUN MENGABAIKAN TUHAN, SANG SUMBER BERKAT ITU.