Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena pernyataan-pernyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menghantam aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari hadapanku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku, “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu, aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu, aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesengsaraan karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor 12:1-10)
Mazmur Tanggapan: Mzm 34:8 -13; Bacaan Injil: Mat 6:24-34
Apa kiranya yang terjadi apabila sebuah produk baru muncul di pasar, dan produk itu adalah obat yang menjanjikan kesembuhan atas segala penyakit yang ada? Tentu saja akan terjadi kenaikan tingkat penjualan bagi perusahaan yang menghasilkan produk baru itu. Harga sahamnya pun akan meningkat di dalam bursa saham. Setiap orang sakit akan mencoba obat itu, paling sedikit apakah obat itu memang berkhasiat seperti digembar-gemborkan. Setiap orang, kecuali orang-orang seperti Santo Paulus tentunya.
Paulus melakukan pendekatan yang berbeda secara radikal dari apa yang kita lihat dalam iklan-iklan dan buku-buku pintar. Paulus tidak menutup-nutupi titik-titik lemah dalam dirinya, atau memindahkan sorotan perhatian orang-orang hanya pada kekuatan-kekuatannya. Paulus justru belajar untuk bermegah atas kelemahan-kelemahannya (lihat 2Kor 12:9).
Sebelum ia bertemu dengan Tuhan Yesus yang sudang bangkit dalam perjalanannya menuju kota Damsyik, Paulus (Saulus pada waktu itu) adalah seorang yang penuh energi yang tidak pernah beraspirasi untuk menjadi manusia “lemah”. Namun hidup barunya dalam Kristus justru dimulai dengan kelemahan, ketika dia dan rombongannya sedang dalam misi pengejaran terhadap orang-orang Kristiani. Perjumpaannya dengan Kristus membuat dia rebah ke tanah dan matanya menjadi buta. Paulus menjadi begitu tidak berdaya sehingga dia harus dipimpin masuk ke dalam kota, di mana dia menunggu dan berdoa – tanpa makan-minum – selama tiga hari sebelum disembuhkan (lihat Kis 9:1-9).
Dalam tahun-tahun yang menyusul, Paulus menghadapi kelemahan-kelemahan yang saling-susul. Perselisihannya dengan Barnabas (Kis 15:36-41) adalah salah satunya. Dalam konflik ini tentunya kebanggaan juga merupakan isu di samping masalah dapat dipercaya atau tidaknya Yohanes Markus. Ingat pula bahwa secara publik Paulus menentang Petrus – kepala Gereja – ketika dia datang ke Antiokhia (Gal 2:11-14). Kejadian ini tentunya sangat mempermalukan Petrus di satu sisi dan di sisi lain tidak bagus bagi Paulus karena dia menunjukkan keberanian namun beraroma kekasaran dan kesombongan.
Tiga kali Paulus memohon kepada Tuhan untuk mencabut “duri dalam daging” dari tubuhnya (2Kor 12:7-8). Apa pun yang dimaksudkan dengan “duri dalam daging “ ini, bagi Paulus “duri” ini sangat mengganggu. Seperti juga Paulus, kita semua mempunyai “duri dalam daging” yang kita ingin agar dibuang jauh-jauh dari diri kita karena memang sangat mengganggu. Bagi sebagian dari kita, “duri dalam daging” adalah “duri-duri kesombongan dan keangkuhan”. Bagi orang-orang lain, “duri dalam daging” mungkin saja keserakahan, kemalasan, atau penolakan yang tak dapat diatasi.
Saudari-Saudaraku dalam Kristus, daripada kita memandang hina “duri-duri” sedemikian, marilah kita melakukan apa yang dilakukan oleh Paulus. Marilah kita menyerahkan “duri-duri” kita kepada Yesus sehingga dengan demikian Ia dapat mencurahkan kekuatan-Nya dan menyatakan kuasa-Nya “yang dibuat menjadi sempurna dalam kelemahan” (lihat 2Kor 12:9). Dengan demikian “duri-duri” kita tidak hanya sekadar merupakan tanda-tanda kelemahan kita, melainkan terlebih-lebih sebagai kesempatan bagi Allah untuk menyatakan belas kasih-Nya dan kuat-kuasa-Nya melalui diri kita masing-masing.
Dalam tahun-tahun yang menyusul, Paulus menghadapi kelemahan-kelemahan yang saling-susul. Perselisihannya dengan Barnabas (Kis 15:36-41) adalah salah satunya. Dalam konflik ini tentunya kebanggaan juga merupakan isu di samping masalah dapat dipercaya atau tidaknya Yohanes Markus. Ingat pula bahwa secara publik Paulus menentang Petrus – kepala Gereja – ketika dia datang ke Antiokhia (Gal 2:11-14). Kejadian ini tentunya sangat mempermalukan Petrus di satu sisi dan di sisi lain tidak bagus bagi Paulus karena dia menunjukkan keberanian namun beraroma kekasaran dan kesombongan.
Tiga kali Paulus memohon kepada Tuhan untuk mencabut “duri dalam daging” dari tubuhnya (2Kor 12:7-8). Apa pun yang dimaksudkan dengan “duri dalam daging “ ini, bagi Paulus “duri” ini sangat mengganggu. Seperti juga Paulus, kita semua mempunyai “duri dalam daging” yang kita ingin agar dibuang jauh-jauh dari diri kita karena memang sangat mengganggu. Bagi sebagian dari kita, “duri dalam daging” adalah “duri-duri kesombongan dan keangkuhan”. Bagi orang-orang lain, “duri dalam daging” mungkin saja keserakahan, kemalasan, atau penolakan yang tak dapat diatasi.
Saudari-Saudaraku dalam Kristus, daripada kita memandang hina “duri-duri” sedemikian, marilah kita melakukan apa yang dilakukan oleh Paulus. Marilah kita menyerahkan “duri-duri” kita kepada Yesus sehingga dengan demikian Ia dapat mencurahkan kekuatan-Nya dan menyatakan kuasa-Nya “yang dibuat menjadi sempurna dalam kelemahan” (lihat 2Kor 12:9). Dengan demikian “duri-duri” kita tidak hanya sekadar merupakan tanda-tanda kelemahan kita, melainkan terlebih-lebih sebagai kesempatan bagi Allah untuk menyatakan belas kasih-Nya dan kuat-kuasa-Nya melalui diri kita masing-masing.
DOA:
Bapa surgawi, kuduslah nama-Mu ya Allahku. Aku menyerahkan kelemahan-kelemahanku kepada-Mu. Semoga orang-orang lain melihat kekuatan-Mu bekerja dalam diri mereka dan memuji-muji kuat-kuasa-Mu serta kebaikan-Mu.
Amin.