Selamat Datang di Blog Patria Jaya dsk. - Santa Theresia
Wilayah 4, Paroki Lubang Buaya - Gereja Kalvari, Jakarta Timur

20 Juni 2015

Kitab Pengkhotbah



Kitab Pengkhotbah dinamakan juga “Eclesiastes” (terjemahan bahasa Yunani dari kata qohelet). Kata “pengkhotbah” adalah terjemahan kata Ibrani “qohelet” ini. Kata itu kira-kira berarti: orang yang memegang jabatan untuk mengumpulkan, mengetuai dan mengajar jemaat. Jadi “Pengkhotbah” sedikit banyak menerjemahkan kata itu. Jadi, penulis kitab memperkenalkan diri sebagai “pengkhotbah” yang mau mengajar jemaat. Namun selebihnya dia memperkenalkan diri sebagai “anak Daud” dan raja di Yerusalem (Pkh 1:1). Dengan demikian orang melihat Qohelet tidak lain dari pada raja Salomo. Namun hal ini sebenarnya tidak dapat dinilai sebagai sebuah kenyataan. Mengapa? Karena Kitab Pengkhotbah ini ditulis jauh kemudian dari masa raja Salomo, yaitu di zaman sesudah pembuangan, sekitar tahun 400 SM, bahkan ada yang memperkirakan sekitar tahun 250-200 SM. Penulis hanya membayangkan diri sebagai raja Salomo, orang berhikmat. Pada masa tuanya raja merenungkan hasil susah payahnya dan usahanya untuk menjadi bijaksana. Yang disajikan adalah renungan penulis Kitab, yaitu seorang Yahudi di Yerusalem, yang jelas termasuk kalangan atas dalam masyarakat.

Tema Utama
Tema utama Kitab Pengkhotbah adalah “ketiadaan makna dari segala sesuatu yang bersifat duniawi:“Kesia-siaan belaka”, kata sang pengkhotbah, “kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh 1:2,14; 12:8). Gagasan utama ini dikemukakan dengan berbagai macam variasi. Kesia-siaan dan kekosongan adalah akibat dari pencaharian manusia yang konstan akan makna kehidupan. Dia (Qohelet) secara khusus menyadari tidak ada gunanya untuk mencoba memahami misteri dari tujuan ilahi di belakang tatanan dunia seperti yang kita ketahui, akhir tragis dari kematian, alasan-alasan dari sukses dan kegagalan, dan keadilan dari reward & punishment atas perilaku baik dan jahat. Semua ini melampaui kemampuan kita untuk melakukan penemuan sendiri.

http://theresia-patria-jaya.blogspot.com/


Ditulis oleh seorang lanjut-usia yang pesimistis

 Qohelet rupanya seorang yang sudah berusia lanjut. Ia meninjau kembali seluruh hidupnya menjelang akhir hidupnya. Dia membuat catatan-catatan dan menuliskan buah pikirannya, juga ucapan-ucapan orang berhikmat lain, walaupun biasanya dia tidak menyetujuinya. Semua catatan dikumpulkannya – mungkin juga oleh orang-orang lain yang menambah kata penutup (lihat Pkh 12:9-11,12-14). Hidup Qohelet cukup berhasil, namun sangat mengecewakan baginya. Dia bertanya: “Apa gunanya?” Selama hidupnya, dia pun mengamati kehidupan orang-orang lain. Sekali lagi dia bertanya: “Apa gunanya?”. Qohelet tidak berhasil menemukan sesuatu yang mantap dan tetap. Dalam kenyataan ia tidak melihat apa yang diajarkan para berhikmat terwujud: Yang baik menjadi bahagia, yang jahat tertimpa celaka. Dirinya sendiri, orang berhikmat, mencoba segala sesuatu, tetapi akhirnya semuanya mengecewakan. Ia tidak merasa bahagia. Ajaran para berhikmat ternyata tidak benar; tidak dapat dipertahankan. Dengan kata lain: Qohelet mengkritisi tradisi hikmat.

Bagi Qohelet, satu-satunya yang mantap dan tetap ialah: semuanya berputar-putar, terulang-ulang dengan tidak tentu ujung pangkalnya. Kesimpulan yang berulang-ulang dari Qohelet adalah: “Kesia-siaan, segala sesuatu adalah sia-sia dan usaha menjaring dan menangkap angin belaka” (Pkh 1:2,14,17). Kepada orang yang masih muda hanya dapat dikemukakan olehnya nasihat ini: “Cobalah menikmati kehidupan dengan sebaik-baiknya, namun jangan mengharapkan terlalu banyak karena nanti dapat menjadi kecewa” (Pkh 2:24-26; 5:17-18; 9:7-9; 11:9-10; 12:1-2). Kiranya bagi Qohelet tidak ada masa-depan lagi. Kematian semakin mendekat dan habislah perkara. Inilah kiranya nasib semua orang tanpa kekecualian (lihat Pkh 2:16; 3:19; 9:12). Jadi, apa gunanya dan apa maknanya kehidupan manusia, susah-payah, penderitaan, kebahagiaan dan kesenangannya? Pendirian Qohelet yang agak pesimistis dan muram semacam itu jelas tidak menarik bagi orang muda yang bersemangat.

Qohelet beriman dalam kegelapan, karena dia tidak tahu apa-apa tentang hidup baka setelah manusia mati. Dia juga tidak tahu-menahu tentang kebangkitan. Ia sendiri mengatakan bahwa manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa depannya (Pkh 7:14). Pandangannya terkurung dalam batas dunia ini yang berputar-putar terus. Namun demikian Qohelet tidak sampai jatuh ke dalam keputus-asaan, oleh karena itu dia tetap percaya kepada Allah. Qohelet mengatakan: “Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah” (Pkh 2:24 bdk. 3:13).

Qohelet percaya bahwa Allah menyelenggarakan segala sesuatu, walaupun ia harus mengakui bahwa “manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pkh 3:11). Kesadaran akan misteri Allah mengilhamkan kepada Qohelet “supaya manusia takut akan Dia” (Pkh 3:14).


http://theresia-patria-jaya.blogspot.com/

Pengaruh non-Yahudi
Kitab Pengkhotbah menunjukkan perkembangan perkembangan pemikiran orang Israel yang berasal dari masa sesudah pembuangan, teristimewa dalam keragu-raguan tentang jawaban-jawaban kuno dan serangan-serangannya terhadap pendekatan rasional pemikiran Yunani yang mulai mempengaruhi kawasan Timur Dekat pada masa itu. Dapat dikatakan bahwa Kitab Pengkhotbah menunjukkan adanya pengaruh dari aliran-aliran pemikiran baru yang berasal dari luar, termasuk Yunani.

Akan tetapi, biar bagaimana pun juga Kitab Pengkhotbah memiliki banyak kesamaan dengan sastra kebijaksanaan lainnya. Pengarang Kitab Pengkhotbah (Qohelet) melakukan investigasi atas pengalaman manusia di segala tingkat, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penciptaan, keadilan, orang bijak vs orang bodoh, adil dan tidak adil, bahkan memetik banyak amsal yang menurutnya akan berlaku dalam hidup ini. Beberapa hal tertentu menjadi jelas bagi dirinya yang bagi orang lain merupakan hal yang tidak diperkenankan. Sementara menerima kenyataan bahwa Allah sungguh mengarahkan segala sesuatu, pengarang dengan kukuh berpendirian bahwa kita tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan Allah atau mengapa, dengan demikian tanggapan manusiawi kita yang layak dan pantas adalah menikmati apa yang diberikan Allah kepada kita dengan menggunakannya secara sebaik-baiknya. Seperti ditulisnya: “Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan Allah kepadanya, sebab itulah bahagiannya” (Pkh 5:17).

To everything there is a season: Turn, turn, turn! (The Byrds; lagu ngetop di tahun 60’an)
Bagi Qohelet, segala sesuatu ada waktunya yang cocok: “Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; …. (Pkh 3:2-4), namun “mengapanya” hanya diketahui oleh Allah dan tidak oleh kita. Nasihat Qohelet untuk menikmati hidup kedengarannya tidak suci-suci amat, namun dia memperingatkan agar kita “takut akan Allah” (Pkh 5:6).


Catatan dari Peter Kreeft
Waktu menulis bukunya yang menjadi salah satu sumber catatan singkat ini, Peter Kreeft adalah seorang profesor filsafat di Boston College. Kreeft mengatakan bahwa Kitab Pengkhotbah memiliki keunikan di antara kitab-kitab yang ada dalam Alkitab. Kitab Pengkhotbah adalah satu-satunya kitab yang berisikan filsafat. Filsafat adalah hikmat dari pemikiran manusia belaka, tanpa bersangkut-paut dengan perwahyuan ilahi. Dalam Kitab Pengkhotbah Allah tidak berbicara. Di kitab-kitab lain, Allah berbicara.

Dalam Kitab Ayub, misalnya, kita mempunyai kitab yang serupa, tentang masalah filsafat yang serupa, yaitu masalah yang menyangkut kekosongan dan ketiadaan makna dari kehidupan ini. Akan tetapi dalam Kitab Ayub, Allah berbicara kepada Ayub. Sebaliknya dalam Kitab Pengkhotbah, Qohelet hanya berbicara kepada Allah, bahkan juga tidak; dia hanya berbicara tentang Allah. Metode yang digunakan sang pengarang adalah metode ilmiah . Kitab Pengkhotbah ini merupakan pertanyaan yang harus dijawab oleh kitab-kitab lainnya.

Siapa pun rabi-rabi Yahudi yang pertama kali memasukkan Kitab Pengkhotbah ke dalam kanon Kitab Suci, mereka adalah pribadi-pribadi yang bijak dan berani, karena pertanyaan dari Kitab Pengkhotbah adalah pertanyaan yang mendalam dan menantang. Hanya keyakinan dalam jawaban lebih mendalam yang ada dalam kitab-kitab lain dalam Alkitab yang tentunya telah mendorong para rabi tersebut untuk menyetujui dimasukkannya Kitab Pengkhotbah dalam kanon Kitab Suci Perjanjian Lama.

Catatan Akhir
Para rabi Yahudi saling berdebat untuk jangka waktu yang lama tentang apakah Kitab Pengkhotbah cocok dimasukkan ke dalam kanon Kitab Suci. Keputusan yang positif dibuat mungkin karena Salomo dipandang sebagai pengarang kitab ini, dan seorang editor/penyunting pada waktu kemudian menambah sebuah catatan saleh dalam Pkh 12:9-14 yang meringkas pesan sang pengkhotbah: “… takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini kewajiban setiap orang” (Pkh 12:13). Sungguh beruntunglah kita bahwa Kitab Pengkhotbah termasuk dalam kanon Kitab Suci, karena Kitab Pengkhotbah mengajarkan jauhnya jarak antara Allah yang transenden dan upaya kita manusia untuk memahami dan “mengendalikan” Dia. Pada akhirnya, pesan Kitab Pengkhotbah mendekati pesan Ayub pada akhir pergumulannya dengan misteri Allah yang tak terjangkau oleh manusia – percaya dan menyerahkan diri kita kepada pemeliharaan penuh kasih dari Allah, walaupun kita tidak tahu mau dibawa ke mana.

Pertanyaan-pertanyaan:

  1. Apa isi dan karakteristik-karakteristik Kitab Pengkhotbah?
  2. Apa yang dimaksudkan dengan Qohelet dalam bahasa Ibrani?