Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, istri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya, “Inilah ibumu!” Sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya. (Yoh 19:25-27)
Bacaan Pertama 1Kor 12:31-13:13 atau Ibr 5:7-9; Mazmur Tanggapan: Mzm 31:2-6,15-16,20; Bacaan Injil Alternatif: Luk 2:33-35
Pada hari ini Gereja memperingati “Santa Perawan Maria Berdukacita” yang mengungkap-kan Maria sebagai teladan sempurna dari seseorang yang tetap setia berdiri di dekat kayu salib sampai saat kematian Puteranya. Tindakan kasih sedemikian mengungkapkan kemauan Maria untuk menanggung pencobaan macam apa pun, kesulitan apa pun, dan penderitaan sengsara yang bagaimana pun beratnya agar dapat tetap bersama dengan Yesus, berdoa untuk-Nya, dan mendukung Dia, walaupun hal itu berarti harus menyaksikan kematian-Nya yang mengenaskan di atas kayu salib.
Bayangkan betapa pedihnya hati Maria selagi dia menyaksikan segala ketidakadilan yang menimpa Putera-Nya dan juga sekarang penderitaan-Nya di atas kayu salib. Maria hanya dapat memandang Putera-Nya dengan kesedihan yang mendalam sambil berdoa kepada Yahweh, Allah Israel. Yesus dihukum mati tidak ubahnya seorang penjahat kelas berat pada masa itu, dan Maria tidak mampu sedikitpun untuk menyeka peluh dan membersihkan darah yang mengalir di wajah-Nya selagi tubuh-Nya sudah terpaku pada kayu salib. Namun, menit demi menit menuju kematian Yesus, Maria dengan setia berada di dekat salib Putera-Nya itu, darah dagingnya sendiri. Sungguh seorang ibu sejati.
Sebagaimana telah dinubuatkan oleh Simeon, hati Maria akan ditembus oleh sebilah pedang penderitaan (lihat Luk 2:35). Akan tetapi, fiat Maria yang tanpa syarat itu, jawaban “ya”-nya yang diberikannya ketika dia menyatukan kehendaknya dengan kehendak Bapa surgawi dan “Sabda menjadi daging” dalam dirinya – telah mempersiapkan dirinya untuk menaruh kepercayaan kepada Allah secara penuh. Sejak saat itu Maria berulang-kali merangkul jalan Allah, namun semua itu tidaklah mengurangi sama sekali rasa sakitnya pada saat-saat dia berdiri di dekat Yesus yang tersalib. Karena fiat-nya yang keluar dari kedalaman hatinya, Maria mampu untuk menerima “biaya” yang harus dibayarnya dalam rencana penyelamatan Allah.
Kita tidak pernah tahu apakah Maria telah diberikan kesempatan untuk secara sekilas lintas memandang Yesus dalam kemuliaan, seperti yang dialami oleh Petrus, Yakobus dan Yohanes di atas bukit Kalvari. Dengan naluri seorang ibu, apakah Maria memahami sesuatu dari kata-kata Puteranya selagi Dia memprediksi penderitaan-penderitaan-Nya dan akan dibangkitkan pada hari ketiga (Luk 9:22)? Dalam doa, apakah Maria menerima visi (walaupun secara singkat) tentang kebangkitan Yesus yang penuh kemuliaan? Kita tidak pernah tahu, barangkali kelak di surga kita akan tahu.
Sampai saat itu, Maria berdiri tegak sebagai seorang yang menjadi “model” bagi kita semua dengan jawaban “ya”-nya kepada kehendak Allah secara berulang-kali, baik pada saat-saat susah maupun saat-saat penuh kegembiraan. Di bukit Kalvari Maria menunjukkan kepada kita bagaimana kita juga dapat berdiri dengan setia di dekat salib Yesus (Yoh 19:25).
Bacaan Pertama 1Kor 12:31-13:13 atau Ibr 5:7-9; Mazmur Tanggapan: Mzm 31:2-6,15-16,20; Bacaan Injil Alternatif: Luk 2:33-35
Pada hari ini Gereja memperingati “Santa Perawan Maria Berdukacita” yang mengungkap-kan Maria sebagai teladan sempurna dari seseorang yang tetap setia berdiri di dekat kayu salib sampai saat kematian Puteranya. Tindakan kasih sedemikian mengungkapkan kemauan Maria untuk menanggung pencobaan macam apa pun, kesulitan apa pun, dan penderitaan sengsara yang bagaimana pun beratnya agar dapat tetap bersama dengan Yesus, berdoa untuk-Nya, dan mendukung Dia, walaupun hal itu berarti harus menyaksikan kematian-Nya yang mengenaskan di atas kayu salib.
Bayangkan betapa pedihnya hati Maria selagi dia menyaksikan segala ketidakadilan yang menimpa Putera-Nya dan juga sekarang penderitaan-Nya di atas kayu salib. Maria hanya dapat memandang Putera-Nya dengan kesedihan yang mendalam sambil berdoa kepada Yahweh, Allah Israel. Yesus dihukum mati tidak ubahnya seorang penjahat kelas berat pada masa itu, dan Maria tidak mampu sedikitpun untuk menyeka peluh dan membersihkan darah yang mengalir di wajah-Nya selagi tubuh-Nya sudah terpaku pada kayu salib. Namun, menit demi menit menuju kematian Yesus, Maria dengan setia berada di dekat salib Putera-Nya itu, darah dagingnya sendiri. Sungguh seorang ibu sejati.
Sebagaimana telah dinubuatkan oleh Simeon, hati Maria akan ditembus oleh sebilah pedang penderitaan (lihat Luk 2:35). Akan tetapi, fiat Maria yang tanpa syarat itu, jawaban “ya”-nya yang diberikannya ketika dia menyatukan kehendaknya dengan kehendak Bapa surgawi dan “Sabda menjadi daging” dalam dirinya – telah mempersiapkan dirinya untuk menaruh kepercayaan kepada Allah secara penuh. Sejak saat itu Maria berulang-kali merangkul jalan Allah, namun semua itu tidaklah mengurangi sama sekali rasa sakitnya pada saat-saat dia berdiri di dekat Yesus yang tersalib. Karena fiat-nya yang keluar dari kedalaman hatinya, Maria mampu untuk menerima “biaya” yang harus dibayarnya dalam rencana penyelamatan Allah.
Kita tidak pernah tahu apakah Maria telah diberikan kesempatan untuk secara sekilas lintas memandang Yesus dalam kemuliaan, seperti yang dialami oleh Petrus, Yakobus dan Yohanes di atas bukit Kalvari. Dengan naluri seorang ibu, apakah Maria memahami sesuatu dari kata-kata Puteranya selagi Dia memprediksi penderitaan-penderitaan-Nya dan akan dibangkitkan pada hari ketiga (Luk 9:22)? Dalam doa, apakah Maria menerima visi (walaupun secara singkat) tentang kebangkitan Yesus yang penuh kemuliaan? Kita tidak pernah tahu, barangkali kelak di surga kita akan tahu.
Sampai saat itu, Maria berdiri tegak sebagai seorang yang menjadi “model” bagi kita semua dengan jawaban “ya”-nya kepada kehendak Allah secara berulang-kali, baik pada saat-saat susah maupun saat-saat penuh kegembiraan. Di bukit Kalvari Maria menunjukkan kepada kita bagaimana kita juga dapat berdiri dengan setia di dekat salib Yesus (Yoh 19:25).
DOA:
Bapa surgawi, kami menyerahkan setiap situasi yang kami hadapi kepada-Mu. Sebagaimana dicontohkan oleh Bunda Maria, maka pada jam-jam tergelap dalam hidup kami, kami akan tetap setia kepada-Mu. Kami telah mengenal-Mu pada saat-saat penuh sukacita dan damai-sejahtera, dengan demikian kami percaya bahwa Engkau akan mendengarkan doa-doa kami dan akan berada dekat dengan kami untuk menolong kami pada saat-saat sulit dan penderitaan kami.
Amin.