Selamat Datang di Blog Patria Jaya dsk. - Santa Theresia
Wilayah 4, Paroki Lubang Buaya - Gereja Kalvari, Jakarta Timur

06 September 2015

Cinta Kasih Adalah Nilai Sentralnya


(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXIII – Senin, 7 September 2015)
http://theresia-patria-jaya.blogspot.com/

Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat, supaya mereka mendapat alasan untuk mempersalahkan Dia. Tetapi Ia mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada orang yang mati tangannya itu, “Bangunlah dan berdirilah di tengah!” Orang itu pun bangun dan berdiri. Lalu Yesus berkata kepada mereka, “Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?” Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu, “Ulurkanlah tanganmu!” Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya. Kemarahan mereka meluap, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus. (Luk 6:6-11)

Bacaan Pertama: Kol 1:24-2:3; Mazmur Tanggapan: Mzm 62:6-7,9
http://theresia-patria-jaya.blogspot.com/


Bacaan Injil hari ini memberikan kepada kita suatu pelajaran yang baik mengenai semangat sebenarnya yang harus menjiwai pelaksanaan hukum-hukum Allah. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi siap untuk menjebak Yesus, mereka akan menyalahkan-Nya jika Dia menyembuhkan orang yang mati tangan kanannya pada hari Sabat itu. Namun Yesus mengajukan pertanyaan berikut: “Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?” (Luk 6:9). Lalu Yesus menyembuhkan orang itu, walaupun hari itu adalah hari Sabat (Luk 6:10).

Hukum Allah tidak pernah boleh digunakan sebagai suatu dalih untuk tidak melakukan suatu kebaikan. “Patuh pada peraturan” bukanlah alasan bagi seseorang untuk tidak melakukan pelayanan kasih. Pada kesempatan lain orang-orang Farisi tidak memberi penghormatan yang seharusnya kepada para orangtua mereka karena mereka harus memberikan penghormatan kepada Allah. Sejumlah pemuka agama Yahudi pada zaman Yesus menggunakan dasar-dasar teknis di bidang hukum untuk membenarkan seorang anak yang bertumbuh dewasa menetapkan suatu batas tertentu dalam hal mereka memelihara orangtua mereka yang sudah tua usia (lihat Mrk 7:11-12).

Jadi, walaupun mereka menjunjung tinggi hukum Allah dengan seksama, orang-orang Farisi melupakan nilai sentralnya, yaitu cintakasih. Lalu, kalau mereka tak mampu memahami panggilan Allah kepada cintakasih-tanpa-batas dalam keluarga, bagaimana mereka akan mampu memahami cintakasih-Nya bagi seluruh umat manusia? Juga ironislah bahwa orang-orang Farisi menetapkan suatu batas mengenai cintakasih dalam keluarga, karena hubungan antara orangtua dan anak-anak adalah salah satu dari gambaran yang mendalam dari hubungan antara Allah dan umat-Nya. Seperti orangtua yang mengasihi anak-anaknya tak akan merasa ragu sedetik pun untuk mengorbankan segalanya bagi anak-anaknya, demikian pula Bapa surgawi tidak akan meninggalkan kita. Pandangan Yesus terhadap kemunafikan seperti ini: “Tepatlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik, seperti ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya tetap jauh dari Aku” (Mrk 7:6; bdk. Yes 29:13). Ingatlah bahwa kita tidak dapat menghormati Kristus, namun pada saat yang sama kita tidak menghormati orangtua kita.

Kita banyak mendengar pembicaraan mengenai “mengasihi sesama”, ketulusan hati dlsb. Dapatkah Kristus membuat tuduhan yang sama terhadap kita? Tuduhan karena kita hanya dapat berbicara, berbicara, dan berbicara; namun tanpa diikuti dengan cintakasih hidup yang sungguh nyata, tidak ada kejujuran, tidak ada ketulusan hati? Omdo? Nato? Berbicara saja sih murah dan mudah. Tidak ada pengorbanan! Di lain pihak, love-in-action yang riil membutuhkan pengorbanan. Untuk mengasihi, kita harus memberi keseluruhan diri kita. Terkadang sungguh sulitlah bagi kita untuk menyangkal diri kita sendiri, namun itulah jalan satu-satunya utuk sampai kepada kasih yang sejati, yang riil, yang tulus. Kalau tidak demikian halnya, maka kita dapat dipastikan sebagai orang-orang munafik.

Kita (anda dan saya) dapat berbicara berjam-jam lamanya tentang apa yang harus dilakukan guna menolong orang-orang miskin dan yang kelaparan di dunia, namun kita hanya dapat membuktikan kasih Kristiani kita yang sejati dengan memberikannya sampai terasa sakit (“giving/loving till it hurts”, kata Bunda Teresa dari Kalkuta). Dengan demikian kita tidak melakukan penipuan-diri, teristimewa apabila kita melakukan kebaikan tanpa ramai-ramai dan tanpa publisitas. Dalam “Khotbah di Bukit”, Yesus bersabda: “… apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau menggembar-gemborkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik …… Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (lihatlah keseluruhan Mat 6:1-4).

Saudari-Saudara yang terkasih, jika kita sungguh ingin mematuhi hukum-hukum Allah, maka kita harus belajar bahwa cintakasih atau KASIH adalah perintah yang pertama dan utama. Kita harus jujur dan tulus dengan diri kita sendiri. Kita harus mengasihi dan bertindak karena kasih itu, walaupun menyakitkan, barangkali karena tindakan kita tidak populer dengan pihak penguasa, seperti Kristus dengan orang-orang Farisi. Kasih harus merupakah tolok ukur pertama dalam hal kepatuhan kita kepada semua hukum yang berlaku.

DOA: 
Tuhan Yesus, dalam perjamuan terakhir Engkau bersabda kepada para murid-Mu: “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu melakukan apa yang Kuperintahkan kepadamu …… Kasihilah seorang terhadap yang lain”. Tuhan, jadikanlah aku murid-Mu yang setia mematuhi perintah-Mu ini. 
Amin.