Terorisme merupakan masalah pelik, bukan hanya pada abad modern ini, melainkan masalah yang sudah setua peradaban umat manusia di dunia ini. Pelakunya bukan monopoli bangsa dan agama tertentu. Sejarah mencatat bahwa pelaku terorisme bisa berasal dari latar belakang apa saja. Tidak jarang kaum radikal itu melakukan tindakan kekerasan berdasarkan keyakinan "agamanya" untuk membasmi "lawannya". Mereka menjalankannya dengan suatu "niat luhur": demi menegakkan kebenaran dan keadilan menurut versi mereka sendiri (bandingkan dengan Yoh 16:1-4).
Kepada murid-murid-Nya, Yesus Kristus mengajarkan agar kita mengampuni dan berdoa bagi orang-orang yang menganiaya kita (Mat 5:43-48). Arti mengampuni dan berdoa ini tidak berhenti hanya pada ritual ibadah dalam gedung gereja. Sebaliknya, karya kasih Allah yang mengampuni dan memulihkan ini mengundang kita untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata hidup sehari-hari. Kasih Allah menyapa baik korban teror maupun pelakunya, dan juga menyapa semua orang (ay. 18).
Kita dipanggil untuk membawa damai di mana pun kita berada. Bila kita berdiam diri atau berhenti berbuat baik, kita akan menjadi pupuk penyubur terorisme. Sebaliknya, kita perlu secara aktif ikut berupaya untuk mewujudkan kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan berbuat kebaikan untuk menghapus kemiskinan dan kebodohan. Bukan dengan senjata kekerasan, bukan pula dengan berpangku tangan dan hanya menyalahkan pemerintah dan pihak lain, melainkan dengan mengamalkan kasih.
KEKERASAN TIDAK DAPAT DILAWAN DENGAN KEKERASAN;
KEKERASAN HANYA DAPAT DIPADAMKAN DENGAN KASIH.