Ketika kita diminta mendonorkan darah, mungkinkah kita sekaligus mendonorkan ginjal? Ketika seseorang menuntut mobil kita, mungkinkan kita menyerahkan sekaligus rumah kita? Ketika seseorang membunuh anak kita, mungkinkah kita mengampuninya dan menjadikannya anak angkat?
Itu beberapa skenario yang melintas dalam benak saya saat membaca bagian dari Khotbah di Bukit ini. Dalam rangkaian khotbah tersebut, saya merasa Yesus sedang menaikkan standar hukum Allah setinggi-tingginya. Dengan harapan, orang yang sungguh-sungguh hendak taat tersadar, tidak mungkin ia menjalaninya dengan kemampuan dirinya sebagai manusia.
Kabar gembiranya, Yesus datang untuk menggenapi hukum itu bagi kita (Rm 10:4). Dalam nas hari ini, misalnya, Dia seperti orang yang menyerahkan pipi kirinya pada yang menampar pipi kanannya, orang yang menyerahkan jubah pada yang mengingini bajunya, dan orang yang berjalan sejauh dua mil ketika dipaksa berjalan sejauh satu mil. Itulah karya Kristus bagi kita! Dan, melalui ketaatan-Nya itu, Kristus menjadi pokok keselamatan bagi orang yang beriman.
Jadi, pertanyaan kita bukan lagi: Mampukah saya menaati hukum Allah? Pertanyaannya adalah: Maukah saya beriman kepada Kristus Yesus dan menerima pembenaran-Nya? Maukah saya berhenti mengandalkan kemampuan diri dalam menaati hukum Allah, dan belajar mengandalkan ketaatan-Nya yang sempurna? Bersediakah saya mempersilakan Kristus menyatakan kehidupan-Nya di dalam dan melalui diri saya?
KESELAMATAN BUKANLAH BERDASARKAN KETAATAN KITA,
MELAINKAN BERDASARKAN KETAATAN KRISTUS YANG SEMPURNA.