Selamat Datang di Blog Patria Jaya dsk. - Santa Theresia
Wilayah 4, Paroki Lubang Buaya - Gereja Kalvari, Jakarta Timur

08 Mei 2015

Doa Jangan Bertele Tele

http://theresia-patria-jaya.blogspot.com/

Perayaan Liturgi kehilangan sifatnya sebagai doa, bahkan kehilangan maknanya sebagai liturgi kalau orang terkurung pada peraturan-peraturan. Padahal yang membuat liturgi menjadi sakral adalah sikap religius umat, bukan berbagai peraturannya

Di Seminari Tinggi calon imam mendapatkan pendidikan Liturgi sebagai mata kuliah utama. Namun pendidikan liturgi harus dilaksanakan secara integral, misalnya dengan Teologi Dogmatik, Sejarah Gereja, Teologi Spiritualitas, Pastoral dan Hukum Gereja. Komisi Liturgi Keuskupan pun hendaknya bekerjasama lintas-komisi, terutama dengan Komisi Kerasulan Kitab Suci, Komisi Kateketik dan Komisi Kerasulan Keluarga.


Dalam menyusun doa-doa dan peraturan, Komisi Liturgi wajib berkonsultasi pada komisi- komisi lainnya. Di Seminari Tinggi pun, kuliah Dogmatik, Eksegese, Spritualitas, Hukum Gereja selalu berbicara juga tentang liturgi. Bila perlu, seorang doktor Teologi Dogmatik pun bisa diangkat untuk mengampu mata kuliah liturgi dan merangkap Ketua Komisi Liturgi Keuskupan. Jelaslah, “seorang teolog tidak dapat membatasi diri lagi pada dogmatik atau eksegese atau liturgi atau bidang apapun yang membuat studinya tertutup” (Tom Jacobs SJ. 2002. Paham Allah. Yogyakarta: Kanisius, hal 29). Maka berbicara tentang liturgi tidak cukup hanya oleh seorang ahli liturgi. Spesialisasi cenderung membuat seseorang tertutup, bak katak di bawah tempurung.

Banyaknya peraturan yang kerapkali tak menyangkut hal yang pokok cenderung menjadikan liturgi sebagai upacara. Liturgi juga membuat umat bukan sebagai peraya, tetapi sebagai penonton. Karena konsentrasi pada peraturan, tata tertib, pedoman (misalnya berlutut, berdiri, membungkuk, berjalan, termasuk alur dan tata gerak). Akibatnya umat lupa berdoa, kurang memiliki kepekaan terhadap doa liturgis. Perayaan Liturgi kehilangan sifatnya sebagai doa, bahkan kehilangan maknanya sebagai liturgi kalau orang terkurung pada peraturan-peraturan. Padahal yang membuat liturgi menjadi sakral adalah sikap religius umat, bukan berbagai peraturannya.

Liturgi merupakan ungkapan iman umat yang bersatu dalam Kristus. Petunjuk yuridis rubrik yang dijalankan secara ketat-keras menjadikan liturgi sebagai upacara yang kaku dan asing. Ini tidak berarti bahwa kita tidak memerlukan peraturan yang tercakup dalam bentuk dan tradisi yang kita warisi. Peraturan dan pedoman hanyalah membantu kita untuk mengungkapkan iman Gereja yang diwariskan kepada kita.

Yang menjadi penanggungjawab utama liturgi di Keuskupan adalah Uskup, “para uskup sendiri berperan sebagai pengurus utama rahasia-rahasia Allah, sebagai pengatur, pendukung dan penjaga seluruh kehidupan liturgis dalam Gereja yang dipercayakan kepada mereka” (Christus Dominus, No. 15). Perlu dipahami, selain mempelajari dokumen-dokumen liturgi, hendaknya Komisi dan Ahli Liturgi berusaha membaca dan memahami penghayatan iman liturgis dari uskup. Dalam diri para uskup, hadirlah di tengah umat beriman Tuhan Yesus Kristus, Imam Agung Tertinggi (Lumen Gentium, No. 21).

Konsili Vatikan II ingin memperbarui liturgi, namun tetap sesuai dengan aslinya. Dalam usaha pembaruan liturgi, bisa terjadi ketegangan antara konservatisme dan kebaruan. Peraturan-peraturan liturgi yang dibuat berdasarkan dokumen-dokumen masa lampau perlu ditempatkan dalam konteksnya sehingga peraturan itu tidak menghalangi usaha pembaruan. Konsili Vatikan II dan pimpinan Gereja setelahnya yang mengajak kita untuk melakukan inkulturasi agar Kristus dan Gereja-Nya jangan sampai menjadi asing bagi setiap orang, bangsa dan budaya tertentu. Melalui inkulturasi, khususnya dalam liturgi “Gereja menjelmakan Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dan serentak membawa masuk para bangsa bersama dengan kebudayaan-kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri”. Dengan kata lain, “liturgi yang dipadukan dengan budaya lokal, sehingga lebih mudah dipahami umat”. Rubrikisme mematikan kreativitas. Banyaknya peraturan dalam liturgi yang dijalankan begitu saja cenderung menyebabkan, “doa penuh bualan, bertele-tele, yang memadamkan Roh. Kita semua mengenal dengan baik bahaya mendaraskan rumusan-rumusan doa rutin sementara pikiran kita seluruhnya berada di suatu tempat lain sama sekali”