Tanda salib mengungkapkan kerinduan universal umat manusia terhadap keharmonisan. Rindu akan terhubungkannya banyak segi dalam kehidupan.
Banyak konflik mewarnai Indonesia akhir- akhir ini. Jelang Pemilu lalu, tiap kelompok dan partai politik saling menjatuhkan dengan kampanye hitam, terutama dalam Pemilihan Presiden (Pilpres). Kita berharap, sesudah Pilpres situasi normal kembali. Masyarakat menjalani rutinitas lagi sambil menanti terpenuhinya janji-janji politik presiden terpilih.
Namun, pertikaian antarkelompok dan partai politik kian meruncing. Kejadian itu disebabkan oleh kelompok dan partai pemenang Pemilu merasa “berada di atas angin”. Kemenangan seolah ingin mengatakan, mereka telah memenangkan hati rakyat. Sedangkan kelompok yang kalah tak legowo menerima kenyataan, lalu melakukan berbagai cara agar mendapat pengakuan publik.
Sikap superior maupun tak legowo menerima kekalahan sebenarnya menunjukkan kompetensi personal yang kurang matang. Akibatnya, atmosfer hidup bersama sebagai warga sebangsa dan setanah air tak lagi diwarnai suasana rukun dan damai. Keharmonisan hidup bersama menjadi sulit dimiliki.
Realitas hidup semacam ini butuh sarana pengingat yang mampu menyadarkan kita untuk menata hidup bersama menjadi lebih baik. Apa itu? Tanda salib! Sebagai orang Katolik, tanda salib mungkin dianggap sebagai hal biasa yang kita lakukan sebelum memulai dan mengakhiri doa. Namun, apakah tanda salib hanya merupakan kebiasaan atau ritual keagamaan orang Katolik?
Tanda salib mengungkapkan kerinduan universal umat manusia terhadap keharmonisan. Rindu akan terhubungkannya banyak segi dalam kehidupan. Menurut Gernot Candolini, seorang penulis asal Innsbruck, Austria, mengatakan, Das Kreuz drückt eine Verbindung aus, vertikal zwischen oben und unten, horizontal zwischen links und rechts. (Salib itu mengungkapkan sebuah hubungan, vertikal antara atas dan bawah, serta hubungan horizontal antara kiri dan kanan).
Arti “atas” mengungkapkan tempat di mana Allah, surga, kepala, roh dan pikiran. Sementara “bawah” mengungkapkan posisi manusia, dunia, perut, badan dan perasaan. Saat kita meletakkan dan menggerakkan tangan dari atas ke bawah, dan membentuk sebuah garis vertikal, pada saat itulah kita merindukan ada hubungan antara atas-bawah, Allah-manusia, surga-dunia, kepala-perut, dunia rohani-dunia badani, pikiran-perasaan. Kita merindukan agar dalam kehidupan terjadi relasi harmonis antara semua aspek.
Setelah menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah, kemudian kita menggerakkan tangan dari kiri ke kanan. Gerak ini pun jika kita sadari akan membentuk sebuah garis horizontal. Di dada kiri terletak jantung dan hati kita. Hati memampukan kita untuk berbelarasa. Hati membuat kita sanggup mencintai. Sikap sosial selalu bermula pada kecondongan hati. Dunia hati adalah dunia belaskasihan. Sementara dada bagian kanan menggambarkan hak dan kewajiban, kebenaran dan kejujuran keteraturan dan tata tertib.
Dua segi yang berbeda ini, dunia belaskasihan dan dunia hukum, terhubungkan dalam tanda salib. Tentu, kita merindukan kehidupan di mana ada harmoni antara kehidupan yang diatur berdasarkan kecondongan hati dengan kehidupan yang diatur berdasarkan tata tertib hukum. Harmonisasi antara atas-bawah, kiri-kanan, mutlak diperlukan agar kita sepenuhnya hidup sebagai manusia.
Kita jangan hanya berhenti di atas atau bawah, kiri atau kanan, melainkan keduanya harus selalu ada dalam tata harmoni. Dua segi itu mesti ada dalam keterhubungan. Jika tidak, kita akan tergelincir dalam salah satu ekstrim atau menjadi ekstremis yang justru mengancam kehidupan. Kita harus tumbuh menjadi pribadi yang punya kematangan komptensi personal.
Hidup dalam keharmonian berarti memandang dan menyingkapi kehidupan secara utuh. Harmoni antara ‘atas-bawah’ atau ‘kiri-kanan’ membuat kehidupan berjalan semakin baik. Setiap orang dengan kompetensi personal yang matang, memiliki kemampuan untuk membangun hidup dalam harmoni, yang diungkapkan secara bermakna dalam tanda Salib. Dalam tanda salib, terungkap kerinduan universal umat manusia terhadap kehidupan harmoni.
Mungkin kehidupan yang harmonis hanyalah cita-cita yang sulit digapai. Maka kita harus lebih sering membuat tanda salib. Dengan demikian, kita selalu diingatkan agar mengupayakan suatu kehidupan yang harmonis. Sebagaimana tanda salib, dalam satu tanda itu menyatu dua bidang yang paradoksal, sekaligus sebuah keutuhan harmonis.