Selamat Datang di Blog Patria Jaya dsk. - Santa Theresia
Wilayah 4, Paroki Lubang Buaya - Gereja Kalvari, Jakarta Timur

22 Maret 2015

Asal Kita Mau Mati Terhadap Diri Kita Sendiri

http://theresia-patria-jaya.blogspot.com/


(Bacaan Injil Misa Kudus, HARI MINGGU PRAPASKAH V [Tahun B], 22 Maret 2015) 

Di antara mereka yang berangkat untuk beribadah pada hari raya itu, terdapat beberapa orang Yunani. Orang-orang itu pergi kepada Filipus, yang berasal dari Betsaida di Galilea, lalu berkata kepadanya, “Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus.” Filipus pergi memberitahukannya kepada Andreas; lalu Andreas dan Filipus menyampaikannya kepada Yesus. Kata Yesus kepada mereka, “Telah tiba saat Anak Manusia dimuliakan. Sesungguhnya Aku berkata berkata kepadamu: Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Siapa saja yang mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi siapa saja yang membenci nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Siapa saja yang melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Siapa saja yang melayani Aku, ia akan dihormati Bapa. Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!” Lalu terdengarlah suara dari surga, “Aku telah memuliakannya, dan Aku akan memuliakannya lagi!” Orang banyak yang berdiri di situ dan mendengarkannya berkata bahwa itu bunyi guntur. Ada pula yang berkata, “Seorang malaikat telah berbicara dengan Dia.” Jawab Yesus, “Suara itu telah terdengar bukan oleh karena Aku, melainkan oleh karena kamu. Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: Sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar; dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati.  (Yoh 12:20-33) 

Bacaan Pertama: Yer 31:31-34; Mazmur Tanggapan: Mzm 51:3-4,12-15; Bacaan Kedua: Ibr 5:7-9 


“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24).

Yesus mengatakan kepada para murid-Nya bahwa kematian-Nya memang mutlak diperlukan kalau mau ada suatu hidup baru. Ini adalah “hukum pengorbanan”, bahwa seseorang dapat masuk ke dalam kehidupan yang lebih besar hanya apabila dia mati terhadap yang lebih kecil.

Yesus mengatakan bahwa Allah  bekerja melalui suatu proses “penderitaan sengsara, wafat, dan kebangkitan”. Yesus seperti sebutir biji gandum. Ia harus mati dan dikuburkan dalam bumi untuk tiga hari, dan pada hari Minggu Paskah bangkit dalam kemuliaan dan menjadi sumber kehidupan di masa depan dan kelimpahan.

“Hukum pengorbanan” ini dicontohkan oleh banyak sekali para martir dan pahlawan. Kita tahu, misalnya, bahwa di Perancis ada Santa Jeanne de’Arc [1412-1431], Filipina mempunyai Dr. Jose Rizal [1861-1896] dan Benigno (Ninoy) Aquino [1932-1983], India mempunyai Mahatma Gandhi [1869-1948], dan Amerika Serikat mempunyai Dr. Martin Luther King [1929-1968], yang berpengaruh kuat terhadap transformasi masyarakatnya masing-masing. Dalam hal Indonesia, kiranya sampai titik tertentu, kita dapat memasukkan nama-nama pahlawan seperti Ignatius Selamet Riyadi dan Yos Sudarso. Jelaslah bahwa kesempatan untuk mati sebagai pahlawan tidak selalu dimungkinkan bagi orang-orang kebanyakan.

Namun demikian kita dapat mengalami kematian dalam arti rohani atau mistis dengan mati terhadap diri kita sendiri, mati terhadap kesombongan kita, mati terhadap keserakahan kita, mati terhadap mentalitas yang buruk dan hal-hal negatif lainnya.

Ada cerita yang sungguh terjadi tentang seorang seorang laki-laki muda yang sudah menikah. Dia seorang pecandu miras dan dia lebih banyak menggunakan waktunya dengan teman-teman minumnya daripada dengan para anggota keluarganya. Selagi dia semakin terjerumus ke dalam kehidupan yang buruk itu, keluarganya mulai berantakan. Dia juga dipaksa untuk mengundurkan diri dari tempat pekerjaannya. Istrinya harus mengambil alih peran sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Karena sang istri tidak tahan lagi menanggung beban untuk menopang keluarga dan masih harus “ngurusin” suami yang kecanduan miras, maka dia pun memutuskan untuk berpisah dari sang suami.

Kehilangan istri dan anak-anaknya yang sesunggguhnya dicintainya merupakan suatu pengalaman yang sungguh memporak-porandakan kehidupan laki-laki itu. Hidup menjadi beban yang sedemikian berat untuk ditanggung. Ia mulai mencoba untuk mendekati istrinya – untuk rekonsiliasi – namun sang istri hanya setuju apabila suaminya itu berhenti minum miras dan mendapat sebuah pekerjaan.

Laki-laki itu harus menelan rasa bangganya dan mengambil jalan yang sungguh panjang untuk mencapai pemulihan. Ia mulai dengan berbagai pekerjaan kasar, termasuk bekerja di salah satu restoran cepat saji. Namun ketetapan hatinya harus kita akui: pada akhirnya dia memperoleh pekerjaan yang bahkan memperkenankannya untuk melanjutkan studinya di bidang hukum.

Dengan banyak dorongan dari para teman dan sahabat, dua orang itu pun perlahan-lahan berhasil berkumpul kembali, walaupun di sana sini harus melalui rasa sakit. Secara bertahap mereka dipulihkan dari trauma yang disebabkan oleh perpisahan yang cukup lama, dan …… Puji Tuhan, keluarga mereka pada akhirnya menjadi keluarga teladan dalam komunitas mereka, termasuk komunitas gerejawi. Di tengah-tengah jadual kerja yang penuh kesibukan, mereka melayani sebagai tim pasutri dalam gerakan Marriage Encounter, yang memberi inspirasi dan menguatkan relasi para pasutri lainnya.

Saudari dan Saudara yang terkasih, bagaimana hal itu dapat terjadi?  Berkat rahmat Allah, sang suami mau dan mampu untuk mati terhadap kebanggaan (palsu) dirinya dan segala hal yang buruk dalam dirinya, maka dia dan keluarganya  dapat bangkit kembali kepada suatu hidup yang baru dan produktif. Apabila mereka dapat melakukannya, maka kita pun tentunya dapat melakukannya, asal kita mau mati terhadap diri kita sendiri.


DOA: 


Tuhan Yesus, Engkau memberikan diri-Mu tidak hanya sebagai Juruselamatku, melainkan juga sebagai Teladan dalam hidupku sehari-hari. Hari ini aku menanggapi panggilan-Mu untuk meneladani-Mu dengan setia. Semoga “pengorbanan-pengorbanan”-ku dalam masa Prapaskah ini dapat menjadi sumber keselamatan bagi orang-orang lain. Semoga kematianku terhadap sikap dan perilaku-ku yang mementingkan diri sendiri dapat menarik diriku ke dalam kehidupan bersama-Mu yang lebih mendalam lagi. 
Amin.

---ooOoo---
Mungkin Anda pernah mendengar kisah orang yang sudah lanjut usia atau yang sedang sakit berat menyampaikan kepada keluarganya, bahwa tidak lama lagi dia akan dijemput oleh orang-orang banyak. Sepertinya mereka sudah tahu hari atau jam kematian mereka. Mereka merasa bahagia menunggu hari kematian mereka.

Yesus, dalam bacaan Injil hari ini, tahu baik sekali saat kematianNya. Dia sendiri menyampaikan kepada murid-muridNya tentang kematian yang akan Dia alami. KematianNya itu bukan sebuah kematian alamiah, tetapi kematian yang direncanakan oleh orang-orang lain. Dia akan dibunuh. Yesus juga tahu dan sangat sadar bahwa kematianNya itu penting dan berguna bagi semua manusia. "Sesungguhnya kalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah", kata Yesus. Apakah Yesus menyerah pada nasib? Penulis surat kepada umat Ibrani melukiskan penderitaan Yesus itu. Dalam menjalani semua pengalaman pahit itu, Yesus mempersembah-kan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Allah. Dan Allah mendengar doa, ratap tangis dan keluhan Yesus. Dalam semua derita itu, Yesus tidak mengelak atau melarikan diri. Sebaliknya, Dia tetap setia dalam penderitaan. Karena ketaatanNya, Dia menjadi sumber yang mengalirkan keselamatan kepada semua orang.
ADa nilai penyelamatan dari sebuah ketaatan. Ketaatan atau kesetiaan dalam menjalani penderitaan mendatangkan banyak berkat dan keselamatan bagi orang lain. Penderitaan yang ditanggung dan dijalani dengan kasih menghasilkan sesuatu yang baru: hidup baru dan anugerah-anugerah baru. 

  1. Apakah anda taat setia menjalani atau menghadapi penderitaan anda?
  2. Sadarkah anda, bahwa pengorbanan anda bisa menjadi berkat atau keselamatan bagi orang lain?