Membangun gereja tak sekadar memenuhi aspek fungsional. Gereja bisa menampung banyak umat, bukan berarti tujuan pendiriannya telah usai. Memang tak dapat disangkal, umat bertambah banyak, gereja pun menjadi kian sempit. Tapi, tentu bukan itu tujuan utama membangun gedung gereja. Gereja bukan semata batu dan bata yang disusun menjadi indah nan megah. Gereja harus menjadi ruang umat beriman berhimpun mendengarkan Sabda Allah, mendaraskan doa, melambungkan pujian, dan merayakan kurban Ekaristi serta perayaan liturgi lain. Ia menjadi kenisah Allah yang dibangun di atas “batu-batu yang hidup”.
Bangunan, dalam hal ini gereja, merupakan hasil olah pikir, olah rasa, dan olah karsa umat pada zamannya. Ia menjadi ungkapan kreasi dan iman umat. Gereja yang hadir di sekitar kita, sebaiknya gereja yang rela berdialog dengan sekitar, gereja yang akrab dan mampu merangkul keanekaragaman agama, budaya, dan kemiskinan. Dengan demikian, konsepsi gereja pun menjadi amat domestik dan karib dengan situasi yang dirasakan, dialami, dan dijumpai umat. Gereja tidak menjadi bangunan yang asing. Ia hadir menjadi sahabat yang akrab bagi sekitarnya.
Membangun gedung gereja harus beriringan dengan membangun Gereja, paguyuban umat beriman. Susunan batu dan bata itu mestinya disuntik dengan iman “batu-batu yang hidup”. Ini bukan perkara mudah. Apalagi, dalam Nasihat Apostolik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus mengajak kita semua menjadi Gereja yang terbuka bagi semua orang, yang terlibat dalam pergulatan hidup manusia, terutama yang miskin dan tersingkir; Gereja yang menjadi kumuh dan terluka, lantaran terlibat dalam perjuangan hidup manusia. Paus menolak Gereja yang narsistik,yang indah dan megah untuk dirinya sendiri.
Ingat! Harta benda sedang menyeret Anda menjadi orang yang kehilangan belas kasih, hanya demi menjadi superhero bagi Gereja. Ia yang punya mata hendaklah melihat! Ia yang punya telinga hendaklah mendengarkan