(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan IV Prapaskah – Senin, 16 Maret 2015)
Kemudian Yesus kembali lagi ke Kana di Galilea, di mana Ia membuat air menjadi anggur. Di Kapernaum ada seorang pegawai istana, anak laki-lakinya sedang sakit. Ketika ia mendengar bahwa Yesus telah datang dari Yudea ke Galilea, pergilah ia kepada-Nya lalu meminta, supaya Ia datang dan menyembuhkan anaknya, sebab anaknya itu hampir mati. Kata Yesus kepadanya, “Jika kamu tidak melihat tanda dan mukjizat, kamu tidak percaya.” Pegawai istana itu berkata kepada-Nya, “Tuan, datanglah sebelum anakku mati.” Kata Yesus kepadanya, “Pergilah, anakmu hidup!” Orang itu percaya kepada perkataan yang dikatakan Yesus kepadanya, lalu pergi. Ketika ia masih di tengah jalan hamba-hambanya telah datang kepadanya dengan kabar bahwa anaknya hidup. Karena itu, bertanya kepada mereka pukul berapa anak itu mulai sembuh. Jawab mereka, “Kemarin siang pukul satu demamnya hilang.” Ayah itupun teringat bahwa pada saat itulah Yesus berkata kepadanya, “Anakmu hidup.” Lalu ia dan seluruh keluarganya percaya.
Itulah tanda kedua yang dibuat Yesus ketika Ia pulang dari Yudea ke Galilea. (Yoh 4:43-54)
Bacaan Pertama: Yes 65:17-21; Mazmur Tanggapan: Mzm 30:2-6, 11-13
“Jika kamu tidak melihat tanda dan mukjizat, kamu tidak percaya” (Yoh 4:48).
Galilea menginginkan tanda dan mukjizat, bukan pertobatan. Ya, Galilea menginginkan sesuatu yang kelihatan spektakuler, bukannya perubahan hati/batin. Orang-orang datang kepada Yesus seringkali karena mereka merasa putus asa atau karena mereka ingin melihat mukjizat. Ini adalah sebuah contoh dari godaan yang sudah berumur berabad-abad, yang lebih menyenangi apa saja yang hebat, yang kelihatan, yang hiruk pikuk, daripada yang bersifat substantif.
Kebutaan hati terasa begitu tolol, namun kita semua bersalah karena hal itu, lagi dan lagi. Kita terasa senang menolak realitas untuk apa saja yang mudah dan terasa menyenangkan. Seorang laki-laki muda untuk sekian lama menderita penyakit batuk-batuk yang kelihatannya serius. Pada akhirnya dia pergi ke dokter. Paru-parunya diperiksa lewat X-ray, dan dia berhadapan dengan realitas yang suram. Dokter berkata: “Kondisi paru-parumu sangat buruk, anda harus dioperasi. Mungkin sangat sakit dan biayanya mahal pula.” Laki-laki muda itu berkata: “Saya takut, lagipula saya tidak mempunyai uang. Adakah cara yang lebih mudah?” Jawab dokter: “Tentu saja ada, saya tunjukkan saja hasil x-ray ini dekat lampu khusus itu dan mengatakan kepada anda bahwa sekarang semuanya baik-baik saja.”
Seringkali satu-satunya jalan yang mudah untuk keluar dari suatu masalah bersifat superfisial dan kita melupakan realitas yang ada di bawahnya. Kita sekali-kali melihat dengan sekejab mata apa-apa saja yang salah dengan diri kita, namun kita tidak menghadapi kenyataan sebenarnya dengan serius. Kita pejamkan mata kita dan melupakannya.
Membuka mata menjelang atau pada halaman terakhir cerita sungguh sudah terlambat. Dari pesawat terbang kecil yang sedang dikemudikannya, seorang pilot memberi pesan radio kepada menara kontrol di daratan: “Saya kehabisan bahan bakar di atas laut, empat ratus mil dari pantai. Apa yang harus kulakukan? Ini urgent!” Si pilot itu tidak lama kemudian menerima jawaban dari menara kontrol: “Berikut ini adalah instruksi-instruksi untuk anda … Harap anda ulangi apa yang saya katakan, ‘O Allahku, saya menyesal atas segala dosaku …’”
Apakah sungguh perlu bagi kita untuk begitu lama menunda-nunda sebelum melakukan sesuatu untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan kita? Apakah yang kita lakukan dengan berbagai kesempatan yang diberikan Allah kepada kita?
DOA:
Bapa surgawi, Allah yang Mahabaik, bukalah kedua mataku sehingga aku dapat melihat dan hidup. Bukalah kedua telingaku sehingga aku dapat mendengar dan belajar. Bukalah hatiku sehingga aku sungguh dapat mendengarkan sabda-Mu.
Amin.