Selamat Datang di Blog Patria Jaya dsk. - Santa Theresia
Wilayah 4, Paroki Lubang Buaya - Gereja Kalvari, Jakarta Timur

08 Maret 2015

Renungan -- Minggu, 8 Maret 2015

Bacaan Injil, Minggu 08 Maret 2015: Yoh 2:13-25

Yesus menyucikan Bait Allah

Kita adalah Bait Allah, kediaman Roh Kudus di mana kita bersatu dengan Allah Tri Tunggal yang Mahakudus ketika kita disucikan dengan baptis. Apakah sekarang hidup kita masih bersih, tidak seperti pasar?

Kel 20:1-17; Mzm 19;1Kor 1: 22-25; Yoh 2:13-25

Bait Suci atau Kenisah adalah Rumah Allah. Rumah ini telah disucikan, dikhususkan bagi Allah, tempat umat Yahudi beribadat dan mempersembahkan kurban kepada Allah. Bisa dipahami bahwa Yesus tidak rela rumah Allah yang suci beralih fungsi menjadi pasar: tempat jual-beli lembu, kambing- domba, merpati dan tempat menukar uang. Tempat yang suci, bersih, hening, dan teduh menjadi kotor, jorok, dan gaduh. Menyaksikan semua itu, Yesus marah besar sampai mengobrak-abrik yang ada di situ. Benarlah yang tertulis, “Cinta akan rumah-Mu menghanguskan Aku” (Mzm 69:10).

Beberapa tahun lalu, saya pergi ke Eropa. Di sana, saya diajak berkeliling ke kota-kota, singgah di beberapa gereja yang masih dipakai dan yang tak lagi dipakai sebagai gereja karena sudah beralih fungsi. Ada yang menjadi hotel, museum, cafĂ©, restoran, bar, mall, pasar, dll. Bahkan, ada yang masih nampak jelas bekas panti iman dan altar, kini dijadikan untuk tempat minuman keras dan bar. Dulu, tempat itu suci, untuk mempersembahkan kurban mulia dan indah: Ekaristi atau Kurban Salib Kristus. Dulu, tempat itu menjadi tempat Sabda Tuhan disampaikan, berbagai sakramen dengan berkat dan rahmatnya bagi keselamatan manusia dilimpahkan. Kini, tempat suci itu telah digusur dan Tuhan sudah dilengserkan. Menyaksikan semua itu, hati saya menangis, pedih, dan ngenes. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Rumah Bapa menjadi pasar!

Dewasa ini, penemuan teknologi telah mengubah wajah bumi, bahkan secara radikal mengubah manusia. Dengan teknologi, manusia menemukan berbagai kemudahan, keenakan, kenikmatan, dan macam- macam hal yang dianggap berguna bagi kepuasan hidup di dunia. Di sini, perhatian manusia yang lebih berfokus pada dunia (saeculum) mulai bergeser. Maka lahirlah sekularisme, yakni paham yang tidak lagi menekankan tradisi, tidak tertarik pada kebenaran-kebenaran spekulatif dan tujuan akhir hidup, serta menolak yang transenden; bersikap pragmatis, instan, dan sibuk dengan yang sekarang.

Karena fokus pada dunia yang materi ini, dimensi rohani dan spiritual tak lagi mendapat perhatian, bahkan disingkirkan. Berbarengan dengan sekularisme, lahirlah saudara-saudaranya yang serentak mempengaruhi zaman ini: materalisme (yang mendasarkan segalanya pada materi), konsumerisme (paham dan gaya hidup yang menganggap barang- Mgr Blasius Pujaraharja Uskup Emeritus Ketapang barang sebagai ukuran kebahagiaan atau kesenangan), hedonisme (pandangan yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup).

Memang, banyak barang dan produk penemuan teknologi menarik, bermanfaat, dan baik untuk kita gunakan, tapi harus tetap menjadi alat kita yang bermanfaat untuk semakin memuliakan Allah dan menyejahterakan sesama. Kita tetap menjadi tuan, bukan sebaliknya: barang-barang itu menjadi berhala kita. Barang-barang itu bisa menyenangkan kita, tapi tidak memberi kebahagiaan sejati, hanya sepintas dan semu.

Sekularisme, konsumerisme, hedonisme, sudah menyatu menjadi arus yang kuat melanda dunia ini (globalisasi). Dan, jika tidak ditanggapi secara bijaksana, manusia ikut arus yang menjauhkannya dari Tuhan, Sumber Kebahagiaan Sejati dan Asal dari Segalanya. Hal ini sudah melanda Eropa lebih dulu, yakni kekuatan yang berfokus pada dunia dan kenikmatan, seperti pasar yang menggusur Bait Allah. Inilah yang ditegur Yesus dengan keras pada hari ini: “Jangan membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan” (Yoh 2:16).

Bukankah hal ini sebetulnya teguran untuk kita? Kita adalah Bait Allah, kediaman Roh Kudus di mana kita bersatu dengan Allah Tri Tunggal yang Mahakudus ketika kita disucikan dengan Baptis. Apakah sekarang hidup kita masih bersih, tidak seperti pasar? Bersih dari pengaruh sekularisme, materialisme, konsumerisme, hedonisme, dll?

Kini, kita berada pada masa Prapaskah. Dalam Paskah, kita akan memperbarui Janji Baptis, yakni saat memulai hidup baru dan menjadi Kenisah Roh Kudus. Mari kita singkirkan segala sesuatu yang mengotori Bait Allah dengan pertobatan, yakni meluruskan arah kepada Tuhan, seperti dalam Bacaan I (Kel 20:1-17): Allah memberikan hukum pedoman kepada umat-Nya; dan menghayati hidup Kristus yang mencintai umat manusia sampai wafat di salib, seperti dalam Bacaan II (1Kor 1: 22-25): hikmah yang ditujukan St Paulus. Semoga teguran Kristus bagi kita dan seluruh Gereja tidak sia-sia. “Jangan membuat Rumah ’ Bapa- Ku menjadi tempat berjualan!” .

--ooOoo---

Banyak penderitaan datang silih berganti dalam hidup kita. Kita sering mengeluh atau berusaha melarikan diri dari penderitaan. Tetapi Yesus punya cerita lain. Dia mau menderita. Sesudah mengusir orang-orang yang berjualan dalam Bait Allah, Yesus menunjukkan, bahwa, "cinta akan Bait Allah mengobarkan hatiNya untuk bertindak." Tetapi konsekuensinya berat. Di akhir hari Ia disalibkan dan wafat secara mengerikan.

Para muridNya teringat akan sebaris kalimat agung, "Cinta akan rumahMu menghanguskan Aku" (Mzm 69:10). Artinya Yesus menderita dan wafat karena cinta akan rumah BapaNya. Ia malahan berkata, "Rombak Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali " (Yoh 2:19). Yang dimaksud Yesus adalah TubuhNya sendiri. Dalam diri Yesus hadirlah Allah. Yesus katakan bahwa walaupun Dia menderita dan wafat pada salib, pada hari ketiga Dia akan bangkit. TubuhNya, bait Allah sejati, yang "diruntuhkan" dan "dihancurkan" dalam kematian, akan dibangun kembali oleh Yesus dalam kuasa Roh Kudus pada hari ketiga. Paulus mengatakan bahwa bagi orang-orang yang tidak percaya, penderitaan Yesus merupakan satu kebodohan atau batu sandungan. Tetapi bagi orang yang percaya, Yesus yang tersalib dan kematianNya serta kebangkitanNya membawa hidup, sukacita dan keselamatan.


  1. Apakah anda menderita karena cinta kepada Allah?
  2. Apakah makna penderitaan itu bagi anda hari ini?