2Raj 5:1-15;
Mzm 42:2-3; 43:3-4
Bagaimana perasaan anda ketika melakukan perjalanan pulang kampung? Dimulai sejak sebelum berangkat dari tempat anda berkarya – Jakarta – sepanjang perjalanan, pikiran anda tentu dipenuhi dengan banyak kenangan masa lalu dan bayangan sambutan macam apa yang anda akan terima setibanya anda di tempat tujuan. Sampai di tempat tujuan, anda mengalami betapa hangatnya sambutan keluarga, cipika-cipiki dan anda pun mulai sibuk membagi-bagikan oleh-oleh kepada orangtua anda, para keponakan anda dst.
Nah, apa yang terjadi dengan “manusia” yang paling agung yang pernah hidup di dunia – Yesus – ketika Dia pulang ke kampung halaman-Nya di Nazaret? Orang-orang sekampung-Nya menolak Yesus dan memperlakukan Dia dengan tidak sepantasnya. Mereka menolak mendengarkan apa yang diwartakan-Nya, pikiran dan hati mereka tertutup rapat-rapat, mereka menunjukkan kebencian dan kecemburuan, malah mereka bersekongkol untuk membunuh-Nya. Lukas mencatat: “Mereka bangkit, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu” (Luk 4:29). Pikiran kerdil dan hati yang tertutup rapat-rapat: pengalaman menyedihkan tidak bedanya dengan pengalaman para nabi Perjanjian Lama.
Sekarang, marilah kita (anda dan saya) bertanya kepada diri masing-masing: Apakah kita akan bersikap dan bertindak-tanduk secara jauh lebih baik seandainya Yesus datang ke kawasan Jakarta Selatan untuk mewartakan Kabar Baik, walaupun di sini bukan kampung halaman-Nya?
Setelah mendengar khotbah Yesus, orang-orang yang hadir dalam rumah ibadat membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu mereka berkata: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” (Luk 4:23). Walaupun tak tercatat dalam Injil, kita seakan mendengar ocehan atau kasak-kusuk mereka: “Dari mana Dia memperoleh hikmat seperti itu? Kan ibu dan bapak-Nya bukan siapa-siapa? Pak Yusuf kan hanya seorang tukang kayu dan Ibu Maria seorang ibu rumah tangga biasa?” Orang-orang ini sungguh tidak mau percaya, mereka menolak melihat adanya hal-hal baik secara istimewa dalam diri orang-orang lain. Yesus kemudian menamakan mereka “orang buta yang menuntun orang buta” (lihat Luk 6:39).
Ini adalah roh kesempitan pandangan/pikiran dari orang-orang seperti penduduk Nazaret. Roh atau semangat gosip-gosipan kiranya juga menguasai diri mereka. Pada akhirnya keangkuhan dan kecemburuan membuat mereka menjadi pembunuh-pembunuh orang yang tidak bersalah. Jika tidak senantiasa waspada, semangat negatif ini mudah menguasai diri orang-orang, apakah mereka masih studi sebagai mahasiswi-mahasiswa ataupun sudah menjadi para wakil rakyat yang terhormat di dalam parlemen.
Santo Paulus mengingatkan kita: “… terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rm15:7). Jika kita keluar untuk menyakiti sesama kita, maka sebenarnya kita menyakiti diri kita sendiri.
Bapa surgawi, Allah Yang Mahabaik, terima kasih penuh syukur kami haturkan kepada-Mu karena Engkau sudi mengambil kami ke dalam keluarga-Mu, sebagai anak-anak-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, kami memuji-muji nama-Mu selalu.
Amin.