(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan III Paskah – Rabu, 22 April 2015)
Kata Yesus kepada mereka, “Akulah roti kehidupan; siapa saja yang datang kepada-Ku, ia tidak akan pernah lapar lagi, dan siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia tidak akan pernah haus lagi. Tetapi Aku telah berkata kepadamu: Sungguh pun kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya. Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Sebab Aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendak-Ku melainkan kehendak Dia yang telah mengutus Aku. Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman. Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yoh 6:35-40)
Bacaan Pertama: Kis 8:1b-8; Mazmur Tanggapan: Mzm 66:1-7
Pernahkah kita (anda dan saya) mengalami kuat-kuasa Yesus dalam kehidupan kita? Tentu pernah, walaupun barangkali kita kurang menyadarinya. Nah, kita juga menemukan Yesus yang sama dalam segala kuasa-Nya dan kasih-Nya dalam Ekaristi Kudus, Dia tetap bersama kita, Dia masih tetap Tuhan dan Guru kita yang sangat mengasihi kita.
Sekarang – lebih daripada sebelumnya – orang-orang ingin dan butuh mengalami kuasa penyelamatan dari Yesus dalam Ekaristi Kudus. Kita tahu dari kitab-kitab Injil bahwa Yesus memaksudkan Sakramen ini sebagai penyembuhan kita, kebebasan kita untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Dalam Ekaristi, Yesus telah memberikan kepada kita diri-Nya sendiri dalam suatu bentuk yang dapat kita sentuh dan alami, seperti dahulu Dia disentuh dan dialami dalam kehidupan-Nya di tengah publik. Karena kita semua adalah manusia, maka kita butuh menyentuh dan disentuh. Seringkali, sentuhan itu menyembuhkan. Yesus, dalam hikmat manusia yang indah, meninggalkan bagi kita Tubuh-Nya dan Darah-Nya sehingga dengan demikian kita dapat menyentuh-Nya dan disembuhkan! Yesus bersabda: “Akulah roti kehidupan; siapa saja yang datang kepada-Ku, ia tidak akan pernah lapar lagi, dan siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia tidak akan pernah haus lagi” (Yoh 6:35).
Yesus mengingat kata-kata itu pada perjamuan terakhir. Oleh karena itu Dia bersabda: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku. …… Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa-dosa” (Mat 26:26,27-28).
Percayakah kita akan ucapan kata-kata Yesus ini sehingga dengan demikian kita berharap agar dosa-dosa kita diampuni? Apakah kita berterima kasih kepada Yesus untuk pengampunan-Nya, karena kita percaya bahwa Dia memegang janji-Nya? Jelaslah bahwa Gereja ingin kita melakukan pendekatan terhadap Yesus dengan iman mendalam yang sungguh mengharapkan kesembuhan dari Dia. Di sinilah letak keseriusan seruan kita sebelum menyambut Komuni Kudus: “Ya Tuhan, saya tidak pantas Engkau datang pada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh” (Puji Syukur 275; bdk. Mat 8:8).
DOA:
Tuhan Yesus, Engkau adalah sang Roti Kehidupan, yang memiliki kuasa ilahi untuk menyembuhkan. Sembuhkanlah kami, ya Tuhan, lewat kehadiran-Mu dalam Ekaristi Kudus. Terpujilah nama-Mu selalu!
Amin.
Memandang Yesus sebagai Roti Hidup, kita diingatkan akan seluruh pribadi Yesus yang menyelamatkan. Orang Kristiani bukanlah kanibal yang memakan daging Kristus. Kita menerima pribadi Kristus yang menggantikan dosa dengan rahmat, yang membuka pintu cahaya bagi semua orang, yang turun ke alam maut untuk memulai hidup baru. Kita didorong untuk terus mencari Kristus, karena hanya dalam diriNya kita mencapai penyempurnaan. Semua latihan rohani, meditasi dan refleksi, karya pelayanan iman dan sosial, tidak mempunyai arti kalau dilepaskan dari Yesus. Yesus harus menjadi inti, kita menjadi anak-anakNya yang berhimpun di seputar tahtaNya.
- Pernahkah kita merenungkan Roti hidup secara mendalam? Jika belum, lakukanlah.
- Sadarkah kita, bahwa Yesus mewariskannya bagi kita di dalam Ekaristi?