(Bacaan Injil Misa Kudus, HARI MINGGU PASKAH III [TAHUN B], 19 April 2015)
Lalu kedua orang itu pun menceritakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenali Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti. Sementara mereka bercakap-cakap tentang hal-hal itu, Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata kepada mereka, “Damai sejahtera bagi kamu!” Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat hantu. Akan tetapi, Ia berkata kepada mereka, “Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan di dalam hati kamu? Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku.” Sambil berkata demikian, Ia memperlihatkan tangan dan kaki-Nya kepada mereka. Ketika mereka belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah Ia kepada mereka, “Apakah kamu punya makanan di sini?” Lalu mereka memberikan kepada-Nya sepotong ikan goreng. Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka. Ia berkata kepada mereka, “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kita nabi-nabi dan kitab Mazmur.” Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci. Kata-Nya kepada mereka, “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: Dalam nama-Nya berita tentang pertobatan untuk pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamulah saksi-saksi dari semuanya ini. (Luk 24:35-48)
Bacaan Pertama: Kis 3:13-15,17-19; Mazmur Tanggapan: Mzm 4:2,4,7,9; Bacaan Kedua: 1Yoh 2:1-5a
Santo Tomas Acquinas [1225-1274] mengatakan bahwa kita dapat mengetahui dan mengenal suatu hal dengan dua cara: cara seorang filsuf dan cara seorang kudus. Cara seorang filsuf adalah di mana pengetahuan diperoleh tentang suatu hal. Kita sampai kepada pengetahuan tersebut lewat analisis. Kita memecah-mecah (memilah-milah) suatu hal menjadi beberapa bagian. Kita akhirnya mengetahui bagaimana hal itu bekerja. Kita akhirnya mengetahui apakah tujuan atau fungsinya. Pengetahuan sedemikian diperoleh dari jarak tertentu. Kita menaruh hal itu dalam jarak tertentu agar kita mendapatkan perspektif yang diperlukan. Pengetahuan yang objektif datang dengan sedapat mungkin memisahkan diri kita dalam jarak tertentu dari hal yang kita tekuni itu.
Cara kedua adalah cara seorang kudus. Kita sampai kepada pengetahuan tentang suatu hal dengan berpartisipasi dalam keberadaannya. Ini adalah cara kasih. Cara ini menuntut keterlibatan, komitmen dan perhatian serius. Dengan cara ini, kita tidak menjaga jarak atau memecah-mecah (memilah-milah) sesuatu menjadi bagian-bagian. Sebaliknya, kita berupaya untuk mempelajarinya secara utuh. Hal itu disebabkan karena secara keseluruhan dan utuh sesuatu itu menjadi lebih besar daripada penjumlahan dari bagian-bagiannya. Kita tidak berupaya untuk memperoleh pengetahuan lewat manipulasi atau analisis. Kita menunjukkan rasa hormat kita guna memperkenankan sesuatu menunjukkan dirinya seperti apa adanya. Hal ini menuntut kesabaran. Pengetahuan yang diperoleh dengan kasih menciptakan atmosfir yang memperkenankan sesuatu mengungkapkan diri sendiri dan diterima sebagai apa adanya. Dengan kata lain: pengetahuan orang kudus yang penuh kasih tidak bersifat manipulatif.
Semua ini mungkin terdengar agak abstrak walaupun sebenarnya sangat konkret. Dua cara untuk memperoleh pengetahuan ini adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Misalnya ada dua cara untuk mengetahui seorang sahabat atau anggota keluarga. Kita dapat mengetahui tentang mereka. Kita dapat mengetahui apa yang menyebabkan mereka hebat. Kita berdiam pada jarak tertentu dan mencoba memperhatikan bagaimana berbagai bagian mereka saling bekerja sama. Kita semua mengalami cara sedemikian untuk sampai kepada suatu pengetahuan tentang sesuatu. Namun selalu ada sebagian penting yang tidak pernah kita ketahui. Kita sendiri menolak menjadi objek cara-cara untuk mengetahui yang sedemikian. Kita merasa diri kita diperiksa. Kita merasa seperti suatu spesimen yang sedang diperiksa di bawah sebuah mikroskop.
Sebaliknya ada pengetahuan yang diungkapkan melalui kasih. Kita tidak berupaya untuk memanipulasi atau mengendalikan pihak lain. Kita memperkenankan pihak yang lain mengungkapkan dirinya sebagaimana apa adanya dia. Kasih menciptakan suatu suasana di mana pihak lain merasakan bahwa dia dapat dilihat sebagaimana apa dirinya dan tidak akan ditolak, dipermalukan, atau merasa tidak ada artinya. Kasih mencurahkan “rahmat penerimaan” atas relasi kemanusiaan. Dengan penerimaan itu kita sungguh menjadi diri kita sendiri. Relasi penuh kasih menghasilkan yang terbaik bagi manusia.
Semua yang di atas dapat dikatakan tentang relasi kita dengan Yesus Kristus juga. Kita dapat mengetahui banyaktentang Yesus. Kita dapat membaca (bahkan menulis) buku-buku dan mengikuti kursus-kursus mengenai teologi dan spiritualitas. Kita dapat mempelajari etika dan pewahyuan Kristiani. Pengetahuan kita tentang sejarah bisa saja membuat kita qualified untuk mengikuti berbagai kontes kecil-kecilan. Namun semua pengetahuan ini tidak menjamin bahwa kita akan mengenal Yesus seturut cara para kudus. Relasi kita dengan Yesus menuntut dari kita lebih daripada sekadar pengetahuan seorang teolog dan/atau filsuf. Hal ini bukan berarti ekspresi sikap anti-intelektualisme. Cintakasih kita kepada Allah dapat jauh diperkaya dengan pengetahuan dan studi intelektual. Namun, pengetahuan inteletual belaka tidak pernah akan cukup pada dirinya. Kita seharusnya menghasrati kedua macam pengetahuan agar mampu untuk sungguh-sungguh mengasihi Allah secara utuh sebagai seorang pribadi.
Surat Yohanes yang pertama mengindikasikan satu dari bahaya-bahaya yang disebabkan karena sekadar mempunyai pengetahuan tentang Allah. Ada anggota komunitas-komunitas yang mengklaim bahwa mereka “mengenal” Yesus. Akan tetapi, mereka tidak mematuhi perintah-perintah-Nya. Yohanes menulis, “Siapa yang berkata, ‘Aku mengenal Dia,’ tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi siapa yang menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui bahwa kita ada didalam Dia” (1Yoh 2:4-5). Ada ilusi bahwa seseorang yang mengetahui isi dari perintah-perintah-Nya sudahlah aman. Tidak ada lagi yang dituntut dari dirinya. Dalam hal ini ingatlah bahwa tidak ada kasih dan kejujuran yang sejati tanpa adanya suatu kemauan untuk mewujudkan sabda Allah ke dalam praktek iman. “Siapa yang mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1Yoh 2:6). Pengetahuan dan pengenalan akan Allah harus bergerak dari kepala ke pusat kehidupan seseorang.
Bacaan Injil hari ini menunjukkan bahwa sungguh tidak memadai apabila kita sekadar mengetahui banyak hal tentang Yesus. Pada saat kita mengalami stres dan rasa takut, maka pengetahuan tentangYesus berperan sedikit saja sebagai pegangan, panduan dan dukungan. Kita menjadi panik dan mulai dibingungkan oleh kerancuan antara kehadiran riil Yesus dengan segala macam imaji dan cerita palsu. Injil mencatat: “Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat hantu” (Luk 24:37). Hanya apabila relasi kita dengan Yesus didasarkan atas kasih yang sejati, maka pikiran kita dapat terbuka bagi Kitab Suci. Hanya apabila pengetahuan kita dimatangkan oleh kasih, maka kita pun dapat menjadi saksi-saksi dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Agar supaya kita dapat bertumbuh dalam pengenalan akan Yesus yang didasarkan pada kasih, maka kita harus mengikuti khotbah Petrus di Serambi Salomo: “Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan!” (Kis 3:19). Tanpa reformasi sedemikian dan pengetahuan yang disempurnakan melalui kasih, maka kita melakukan segala hal yang bersifat destruktif dan tragis atas diri kita sendiri dan orang-orang lain. Yesus mengetahui hal ini, maka Dia berdoa menjelang kematian-Nya di atas kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Yesus mengetahui apa yang dilakukan-Nya karena pengetahuan dan pengenalan-Nya akan Bapa surgawi dan kita masing-masing adalah “kasih yang total”.
DOA:
Yesus, Engkau adalah Tuhan dan Juruselamat kami. Terima kasih penuh syukur kami haturkan kepada-Mu karena dalam bacaan Kitab Suci hari ini – di bawah bimbingan Roh Kudus – kami diingatkan kembali, bahwa sekadar mengetahui tentang Allah Bapa dan Engkau dan Roh Kudus tidaklah cukup. Pengetahuan kami ternyata harus dimatangkan oleh kasih. Terpujilah Allah Tritunggal Mahakudus, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, sekarang dan selama-lamanya. Amin.