“Apabila kasih tidak ada lagi didunia maka Tuhan telah siap untuk datang” mungkin ini adalah suatu ungkapan yang tepat untuk menanggapi salah satu ayat pada surat pertama Santo Paulus kepada Jemaat di Korintus “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berhenti; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap (13:8).” Kasih merupakan suatu hal yang utama dalam hidup Kristiani bahkan Kristus sendiri menyatakan bahwa Hukum Kasih merupakan hukum yang terbesar dan mendapat tempat teratas dari segala hukum taurat. Kristus mengajarkan kita bahwa “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13).” Hal ini menunjukkan bahwa Kristus adalah sentral dari kasih itu sendiri, dengan kasih-Nya yang begitu besar; Ia rela untuk membungkuk ke dunia, menjadi sama dengan manusia dan akhirnya mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Kristus sendiri memberi perintah baru kepada murid-murid-Nya “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yoh 13:34).” Yang secara eksplisit pula mengarah kepada kita untuk saling mengasihi satu sama lain sebagai murid-murid Kristus, sebagai sesama manusia.
Berbicara mengenai kasih; perlu diketahui bahwa ada pembagian secara tradisional didalam Gereja Katolik. Pembagian ini terdiri dari 14 karya belas kasih dan terbagi menjadi dua yaitu karya belas kasih jasmani dan rohani (KGK 2447).
7 karya belas kasih jasmani
1. Memberi makan kepada orang yang lapar.
2. Memberi minuman kepada orang yang haus.
3. Memberi perlindungan kepada orang kepada orang asing.
4. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
5. Melawat orang sakit.
6. Mengunjungi orang yang dipenjara.
7. Menguburkan orang mati.
7 karya belas kasih rohani
1. Menasihati orang yang ragu-ragu.
2. Mengajar orang yang belum tahu.
3. Menegur pendosa.
4. Menghibur orang yang menderita.
5. Mengampuni orang yang menyakiti.
6. Menerima dengan sabar orang yang menyusahkan.
7. Berdoa untuk orang yang hidup dan mati.
Pembagian yang ada diatas sama sekali tidak membatasi bahwa perbuatan kasih hanya berjumlah 14 contoh saja, namun pembagian diatas hendak menunjukkan bahwa perbuatan belas kasih tertentu dapat digolongkan sebagai karya belas kasih jasmani atau rohani. Dengan membaca pembagian yang ada diatas, bagaimana pemahaman kita mengenai kasih itu sendiri? Pemahaman terhadap kasih pada umumnya cenderung sentimental, hal ini justru membuat kita membayangkan bahwa kasih selalu identik dengan perbuatan cinta. Memberi sedekah terhadap orang miskin, memberikan kata-kata peneguhan kepada orang yang sedang down. Kedua perbuatan ini kita anggap sebagai perbuatan kasih, namun bagaimana respon kita terhadap seseorang yang menegur sesamanya karena ia telah berbuat dosa dan mengajarkan ajaran Iman Katolik yang benar. Apakah kedua perbuatan ini merupakan perbuatan kasih?
Ketika kita menegur sesama kita yang berbuat dosa, kerap kali kita dituduh sedang menghakimi orang tersebut. Kenyataannya yang perlu disadari bahwa kita tidak sedang menghakimi sesama kita namun karena kita mengasihi sesama kita. Tak lepas pula dengan perbuatan mengajarkan ajaran dan praktik Iman Katolik yang benar, kerap kali kita dituduh terlalu fanatik terhadap Iman Katolik dan seolah-olah sedang menggurui seseorang. Kita mengasihi sesama kita; maka dari itu kita mempunyai tanggung jawab untuk mewartakan Iman Katolik. Hal itu disebabkan karena kita mengasihi sesama kita dan bukan sedang menggurui sesama kita.
Contoh paling konkrit dari ajaran Iman Katolik adalah bahwa seseorang yang telah berbuat dosa berat dilarang untuk menerima Komuni Kudus. Mengapa hal ini bisa terjadi? Saat seseorang menerima Komuni Kudus dengan keadaan berdosa berat, ia telah berbuat dosa yang lebih berat lagi yaitu dosa sakrilegi. Seturut dengan yang diajarkan oleh Santo Paulus “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. (1 Kor 11:27)”. Bukanlah rahmat pengudusan yang didapat namun semakin jatuh didalam dosa. Maka Gereja melarang seseorang untuk menerima Komuni Kudus dalam keadaan berdosa berat, bukan karena Gereja tidak memiliki kasih terhadap orang yang berdosa malahan karena Gereja mengasihi orang berdosa. Gereja melarang seseorang yang dalam keadaan berdosa berat untuk menerima Komuni Kudus, untuk menghindari diri orang tersebut dari dosa yang melecehkan kesucian atau dosa sakrilegi.
Barangsiapa sadar telah melakukan dosa berat wajib melakukan suatu pertobatan batin dan kemudian menerima pengampunan dan absolusi melalui Sakramen Tobat. Hingga ia mengakukan dosanya dengan baik dan menerima absolusi sakramental. Namun bagaimana seandainya seseorang yang dalam keadaan berdosa berat, tidak mengetahui adanya larangan untuk menerima Komuni Kudus dalam keadaan berdosa berat namun tetap menerimanya? Disinilah terletak kewajiban untuk menegur sesama kita yang telah menerima Komuni Kudus dalam keadaan berdosa berat dengan mengajarkan ajaran Iman Katolik dengan dasar yang jelas sebagai bentuk perbuatan kasih terhadap sesama.
"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.” (Mat 18:15)
“Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan.” (Mat 18:16)
“Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.” (Mat 18:17)