Bagaimana persekutuan dengan Yesus harus dibangun? St. Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa hubungan setiap murid dengan Yesus haruslah "hidup bersatu mesra". Lebih lanjut dikatakan, "Persatuan kita dengan Tuhan Yesus, yang berakar dalam Pembaptisan dan dipupuk dengan Ekaristi, perlu mengungkapkan diri dan dibarui secara radikal dari hari ke hari." Tambahnya lagi, "Yesus telah mengajarkan kepada kita kenyataan hidup Kristen yang mengagumkan itu, yang juga merupakan jantung hidup rohani, dengan perumpamaan-Nya tentang pokok anggur dan ranting-rantingnya (Yoh 15:1.4-5)
Semoga mulutku bernyanyi dan memuji Engkau, dan bibirku bersorak bermadah kepada-Mu. Alleluya.
Doa
Allah Bapa Pemulih dan Pemurni Hidup, Engkau telah melepaskan kami dari kegelapan. Arahkanlah hati kami kepada-Mu, agar kami selalu tinggal dalam terang kebenaran-Mu. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama Dikau, dalam persatuan Roh Kudus hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.. Amin.
Bacaan dari Kisah Para Rasul (15:1-6)
"Paulus dan Barnabas pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal-soal yang timbul di tengah-tengah jemaat."
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.
Mazmur Tanggapan, do = c, 2/4, PS 844
Ref. 'Ku menuju ke altar Allah dengan sukacita
Atau: Mari kita pergi ke rumah Tuhan dengan sukacita!
Ayat. (Mzm 122:1-2.3-4a.4b-5; Ul: 1)
- Aku bersukacita, ketika orang berkata kepadaku, "Mari kita pergi ke rumah Tuhan." Sekarang kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, hai Yerusalem.
- Hai Yerusalem, yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat, kepadamu suku-suku berziarah, yakni suku-suku Tuhan.
- Untuk bersyukur kepada nama Tuhan sesuai dengan peraturan bagi Israel. Sebab di Yerusalemlah ditaruh kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi milik keluarga Raja Daud.
Bait Pengantar Injil, do = bes, PS 954
Ref. Alleluya
Ayat. (Yoh 15:4)
Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu, sabda Tuhan. Barangsiapa tinggal di dalam Aku, ia berbuah banyak.
Inilah Injil Yesus Kristus menurut Yohanes (15:1-8)
"Barangsiapa tinggal di dalam Aku, dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak."
Inilah Injil Tuhan kita!
U. Sabda-Mu sungguh mengagumkan!
Renungan
Seorang Suster dalam sambutan pesta 25 tahun hidup membiara mengatakan bahwa kesetiaannya dalam hidup membiara, bukan semata-mata hasil usahanya sendiri tetapi lebih karena berkat Tuhan. Karena dari kekuatannya sendiri rasanya tidak mungkin dia dapat setia pada panggilannya. Hanya kekuatan Tuhan yang membuat dia dapat bertahan dalam panggilannya. Hal ini yang membuat dia senantiasa berharap dan mengandalkan Tuhan dalam hidupnya.
Apa yang dikatakan Suster tersebut tidak berlebihan karena Yesus sendiri mengatakan,"Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak berbuat apa-apa."(Yoh 15:5). Apa arti perkataan Yesus ini? Yesus adalah sumber kekuatan dalam hidup kita. Dari pada-Nya kita menerima sari-sari makanan rohani yang memberi kekuatan dan hidup. Kalau kita bersatu dengan Yesus, maka kita akan tumbuh dan berkembang serta menghasilkan buah-buah rohani. Sebaliknya, apabila kita tidak bersatu dengan Yesus, kita akan seperti ranting kering yang tidak ada gunanya selain dipotong dan dibakar (ay.6).
Kita sering menyombongkan kekuatan kita sendiri dan kurang mengandalkan Tuhan dan kuasa-Nya. Tidak jarang kita mengandalkan diri pribadi, kemampuan, kekayaan atau kekuatan lain. Kita merasa bahwa dengan cara itu kita dapat mewujudkan kebahagiaan. Namun, ternyata bukan kebahagiaan yang kita dapatkan tetapi kesengsaraan, kehampaan dan ketergantungan kita pada nafsu-nafsu jahat.
Oleh karena itu, kita perlu mengandalkan Tuhan dan bersatu dengan Yesus, Sang Pokok Anggur sejati. Mengandalkan Tuhan dan bersatu dengan-Nya berarti mau menjalin relasi pribadi yang akrab dengan Tuhan Yesus di dalam doa, pembacaan Kitab Suci, perayaan Ekaristi, atau sarana rohani lainnya. Dengan cara-cara ini, kita akan memperoleh kekuatan dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup.
Marilah kita memohon kerahiman Tuhan agar kita senantiasa tinggal di dalam Yesus. Semoga makin hari kita makin terpikat dan bersatu dengan Yesus, Sang Pokok Anggur sejati sehingga kita mampu menghasilkan buah-buah rohani dalam hidup kita.
Perjanjian Lama menggambarkan Israel sebagai (kebun) anggur Allah (bdk. Yes. 5:1-7). Allah memupuk dengan hukum-Nya agar mereka menghasilkan buah kasih dan keadilan. Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengganti gambaran itu dengan Diri-Nya sebagai Pokok Anggur. Dialah Sabda dan Hukum Kasih Bapa sehingga yang percaya dan menghidupi perkataan-Nya akan tinggal dalam kasih Bapa dan sanggup menghasilkan buah. Bersama Yesus, kita membentuk suatu komunitas umat ‘perjanjian baru’ yang disebut Gereja: Tubuh Mistik Yesus Kristus.
Sambil bersukacita karena Allah sendiri memilih kita menjadi anak-anak-Nya (bdk. Yoh. 15:16) dan bersyukur atas rahmat baptis yang menjadikan kita warga Gereja, mari kita renungkan apakah kita masih bersatu dengan Pokok Anggur. Indikasinya jelas bahwa setiap ranting harus menghasilkan buah kasih dan kebaikan (bdk. Gal. 5:22-23). Seperti Allah yang selalu aktif mengasihi, kita pun harus terus mengasihi sesama. Paulus dan Barnabas telah menunjukkan persatuan mereka dengan Kristus ketika mereka menceritakan keberhasilan tugasnya kepada komunitas di Yerusalem. Saat kita berhenti berbuat kasih, saat itu pula kita sudah terpisah dari Pokok Anggur.
Ya Tuhan, semoga dengan Roh-Mu aku selalu bisa membawa kasih bagi sesama agar nama-Mu semakin dimuliakan dalam dan melalui seluruh hidupku. Dan semoga aku tak akan pernah dipisahkan dari-Mu, apa pun yang akan terjadi, sebab Engkaulah Tuhan dan Juruselamatku. Amin.
Santo Petrus Kanisius, Imam dan Pujangga Gereja
Petrus Kanisius lahir pada tanggal 8 Mei 1521 di Nijmegen, Belanda. Ketika itu Nijmegen masih termasuk bagian wilayah keuskupan Agung Cologne dan berada di bawah kekuasaan Jerman. Petrus adalah putra tertua dari Yakob Kanis. Yakob Kanis, ayahnya menjabat sebagai Walikota Nijmegen, dan menjadi guru pribadi bagi anak-anak raja dari Lorraine. Semasa hidupnya Petrus menyaksikan pergolakan hebat dalam tubuh Gereja oleh munculnya gerakan Reformasi pimpinan Martin Luther.
Pada umur 14 tahun, Petrus masuk Universitas Cologne dan mencapai gelar Magister (Master of Arts) pada usia 19 tahun. Ia bercita-cita menjadi seorang ahli di bidang hukum. Untuk itu ia melanjutkan studinya di Universitas Louvain. Tetapi kemudian ia berubah haluan. Ia mulai tertarik dengan kehidupan membiara. Ketertarikannya pada kehidupan membiara ini berkaitan erat dengan cara hidup para pertapa di biara Kartusian yang disaksikannya sendiri selama belajar di Cologne. Karena itu, ia kembali ke Cologne untuk belajar Teologi. Di sana ia mengikuti latihan-latihan rohani Santo Ignatius dari Loyola, yang dipimpin oleh Petrus Faber, seorang imam Yesuit yang saleh. Latihan rohani ini sungguh meresap dalam hatinya sehingga Petrus memutuskan untuk menjadi seorang imam Yesuit juga. Niatnya untuk memasuki biara Kartusia dibatalkannya.
Ketika berumur 22 tahun, Petrus memasuki Serikat Yesus. Di Cologne, Petrus turut mendirikan rumah Yesuit pertama, tempat ia menjalani masa novisiatnya. Pada tahun 1546, ia ditabhiskan menjadi imam dan segera terkenal sebagai pengkhotbah ulung. Kardinal Otto Truchess von Waldburg, Uskup Augsburg, memilihnya menjadi teolog pribadinya pada Konsili Trente. Dalam konsili itu, Petrus mendapat kesempatan untuk berbicara, baik di Trente maupun di Bologna. Kemudian ia dipanggil ke Roma oleh Santo Ignatius sendiri, dan pada tahun 1548 ia dikirim untuk mengajar retorik di sekolah Yesuit Pertama di Messina, Sisilia.
Sebagai jawaban terhadap permohonan Raja William IV dari Bavaria, yang membutuhkan professor-professor Katolik untuk melawan ajaran-ajaran bidaah, Paus Paulus III (1543-1549) mengirimkan Petrus dan dua orang imam Yesuit lainnya ke Ingolstadt untuk mengajar di sebuah universitas yang ada disana. Pada tahun 1550, setahun setelah Petrus mengucapkan kaul kekal dalam serikat Yesus, Petrus diangkat menjadi rektor Universitas Ingolstadt. Melalui khotbah-khotbah dan katekasenya, ia berhasil membangkitkan lagi semangat hidup keagamaan di kalangan umat di wilayah itu. Pada tahun 1552, atas permohonan Raja Ferdinand I dari Austria, ia pergi ke Vienna untuk menjalankan misi yang sama. Di Vienna, Raja Ferdinand menawarkan kepadanya jabatan uskup Vienna, tetapi selalu di tolaknya. Pada tahun 1554, atas permohonan Paus Yulius III, Ignatius Loyola mengijinkan Petrus menjadi administrator tahkta Suci yang mengalami kekosongan. Di sini ia menyusun buku katekismusnya yang terkenal: Ringkasan Ajaran Kristen, yang dipakai oleh seluruh Eropa selama beberapa abad sebagai buku pegangan. Kemudian ia menyusun lagi dua buku katekismus yang lebih singkat untuk sekolah-sekolah. Kemudian Petrus diangkat sebagai pemimpin serikat untuk sebuah wilayah kerja Yesuit yang meliputi Jerman Selatan, Autria, dan Bohemia. Dalam masa kepemimpinannya, ia membuka sebuah kolose di Munich dan Praha dan bertanggungjawab atas pembaharuan sekolah-sekolah di Augsburg. Pada tahun 1562, ia mendirikan sebuah kolose di Insbruck dan mengambil bagian sebagai pembicara dalam Konsili Trente sebagai Teolog KePausan.
Setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai pemimpin serikat, ia mengajar di Universitas Dellingen, Bavaria. Disini ia giat menulis suatu seri buku sebagai tanggapan terhadap sebuah buku yang diterbitkan sekelompok penulis Protestan dari Magdeburg. Karyanya yang terakhir di selesaikan di Frieburg, Switzerland, tempat ia mendirikan sebuah universitas dan membantu menbangun sebuah pernerbitan Katolik pada tahun 1580. Pada tahun 1591 ia jatuh sakit tetapi terus menulis hingga kematiannya pada tanggal 21 Desember 1597 di Frieburg. Oleh Sri Paus Pius XI (1922-1939) Petrus digelar sebagai seorang Pujangga Gereja yang masyur.
Santa Zita, Pengaku Iman
Santa Zita di lahirkan di Monte Sagrati, Italia Tengah pada tahun 1218. Pada umur 12 tahun ia menjadi pelayan / pembantu rumah pada keluarga Pagano Di Fatinelli, seorang pengusaha tekstil yang kaya.
Zita juga bekerja di pabrik orangtuanya, sebagai buruh, ia memperlihatkan perilaku yang saleh dan murah hati. Hal ini menimbulkan amarah dari pelayan-pelayan yang lain. Selain itu, ia pun dimarahi oleh orangtuanya karena mengambil sejumlah besar makanan dan pakaian untuk dibagi-bagikan kapada para miskin. Namun keluarga Fatinelli memahami maksud Zita dan turut menambahkan bantuan kepadanya untuk melanjutkan karya-karya cinta kasih.
Setelah beberapa tahun, ia dibiarkan membantu anak-anak dan menjadi pengurus rumah tangga Fatinelli. Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, keluarga Fatinelli membebaskan dia dari tugas-tugas rumah dan membiarkan dia mengunjungi orang-orang sakit dan para tawanan di penjara.
Setelah kematiannya, jenazahnya di kuburkan di gereja Santo Frediano di Lucca. Ia meninggal pada tanggal 27 April 1278 di Lucca, dekat tempat kelahirannya. Pada tahun 1696, ia digelari "kudus" oleh Sri Paus Innocentio XII (1691-1700).
Santa Lydia Longley, Pengaku Iman
Lydia Longley lahir pada tahun 1674 di Groton, sebuah daerah koloni Inggris di Amerika Serikat. Keluarga Longley penganut agama Protestan Puritan, yang keras sekali pandangan hidupnya. Ibunya meninggal dunia ketiak Lydia bersama tiga orang adiknya: Will, Jemina dan John masih kecil. Dalam usia remajanya, Lydia terpaksa menggantikan ibunya dalam mengurusi adik-adiknya. Hal ini dilakukannya sampai saat ayahnya William Longley menikah lagi dengan Crips Deliverance, seorang janda muda. Semenjak itu, Crips mengambil ahli lagi tugas-tugas Lydia sebagai ibu rumah tangga.
Dari perkawinan kedua ini, William memperoleh lagi empat orang anak: Yosef, Betty, Richard dan Mathaniel. William mendidik anak-anaknya penuh disiplin bahkan keras. Mereka dilatih untuk bekerja, berdoa dan menulis. Lydia dibebani tugas mendampingi adik-adiknya dalam melaksanakan tugas-tugas itu. Setiap minggu mereka bersama orang Kristen lainnya, dan mendengarkan khotbah pendeta Hobart. Selain itu, Willliam melatih anak-anaknya menggunakan senjata untuk membela diri bila ada suatu bahaya. Bahaya besar yang selalu mengancam hidup mereka ialah serangan orang-orang Indian yang masih biadab. Pada tahun 1694, daerah Groton diserang oleh orang-orang Indian Abenaki. Ayah dan ibunya bersama beberapa orang lainnya mati terbunuh dalam peristiwa itu. Tinggallah Lydia, Betty dan John dibiarkan hidup oleh orang-orang Indian itu. Mereka dibawa sebagai tawanan ke New France, daerah koloni Prancis. Di tengah perjalanan itu, Betty meninggal dunia dan John dipisahkan dari Lydia.
Setibanya di New France, Lydia dihadapkan ke depan penguasa Prancis setempat. Disana hadir juga tuan Le Ber, seorang duda yang beragama Katolik. Oleh Tuan Le Ber, Lydia ditebus dan diangkat menjadi anaknya sendiri. Semenjak itu, kehidupan Lydia tergantung sepenuhnya pada kebaikan hati Le Ber dan anak-anaknya Pierre dan Jeanne. Ia merasa senang karena diperlakukan sebagai anak kandung dengan cara hidup Katolik dari keluarga Le Ber, maupun dari segenap warga kota New France. Lydia kemudian berkenalan dengan Pastor Pere Meriel, imam di New Frence dan suster-suster Notre Dame. Atas pemintaan Tuan Le Ber, seorang suster datang mengajarkan bahasa Prancis kepada Lydia. Pada suatu hari, Lydia diperkenalkan pada suster Mere Bourgooys, pendiri kongregasi tersebut. Pertemuannya dengan suster Mere Bourgooys menumbuhkan dalam hatinya keinginan untuk menjadi suster juga.
Atas pengaruh keluarga Le Ber, suster-suster dan pastor Meriel, Lydia kemudian dipermandikan menjadi Katolik pada tanggal 24 April 1696 dengan nama Magdalena. Kemudian ia diterima menjadi suster dengan nama suster Magdalena. Pada tanggal 19 September 1699, ia mengikrarkan kaul kekal. Setelah bertugas di New France selama beberapa tahun, Lydia dikirim ke pulau Orleans untuk menjadi superior biara Keluarga Kudus disana. Ia meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1758 dan dimakamkan di kapela Kanak-Kanak Yesus di Montreal.