Selamat Datang di Blog Patria Jaya dsk. - Santa Theresia
Wilayah 4, Paroki Lubang Buaya - Gereja Kalvari, Jakarta Timur

02 Desember 2016

APP 2017-2019: Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan demi Kesejahteraan Hidup Bersama


Pengantar

“Mewujudkan Hidup Sejahtera” menjadi garapan tema Gerakan APP tahun 2012 – 2016. Hidup sejahtera berarti hidup dalam kebenaran,damai dan sukacita. Ketiga faktor ini merupakan nilai fundamental Kerajaan Allah yang akan meresapi dan mewujud dalam tatanan kehidupan konkret manusia seturut dimensi hidupnya. Dimensi hidup manusia, sebagai makhluk individu (religius) yang hidupnya terarah kepada Allah, akan bertumbuh dan berkembang dalam perjumpaannya di tengah-tengah umat manusia (masyarakat) dan lingkungan hidupnya (alam semesta) sebagai makhluk sosial.

Mewujudkan hidup sejahtera menjadi arah dan tujuan hidup manusia. Panggilan dan tanggung jawab hidup manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial terungkap dan terwujud dalam kerja. Kerja sebagai pengungkapan diri (individu) dan sekaligus menjadi sarana yang efektif untuk melawan kemiskinan dan menuju kesejahteraan hidup (bdk. Amsal 10,4), serta mempraktekkan suatu belarasa yang dapat diwujudkan dengan berbagi hasil kerja dengan mereka yang berkekurangan (bdk. Effesus 4,28). Kerja sebagai wujud keluhuran martabat manusia.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kerja itu suci dan untuk mencapai kesucian, manusia harus belajar sepanjang hidup. Kesucian kerja itu dinyatakan dengan mengolah dan mengelola hidup sebagai karunia dan rahmat Allah yang ditujukan untuk mencapai kepenuhan kesejahteraan hidup bersama.

Proses pergulatan hidup manusia untuk mengolah dan mengelola hidup sebagai rahmat dan karunia Allah akan melahirkan daya hidup sebagai daya juang untuk hidup pantang menyerah. Daya hidup yang dimaksud adalah ketekunan, keuletan dan kesabaran yang akhirnya akan mendasari dalam proses mewujudkan kemandirian dan keberlanjutan kesejahteraan hidup. Hal ini, sudah menjadi pengolahan bersama dalam Gerakan APP Tahun 2012 – 2016.

Kemandirian dan keberlanjutan hidup sejahtera terarah pada kesejahteraan hidup bersama. Kesejahteraan hidup bersama mencakup hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam ciptaan dan manusia dengan Allah. Kesejahteraan hidup bersama terbangun dalam keutuhan ciptaan.

Pembaharuan dan perubahan hidup terus menerus dalam memandang keutuhan ciptaan sebagai bagian utuh kesejahteraan hidup manusia menjadi tema sentral dalam Gerakan APP Tahun 2017 – 2019, “Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup Bersama”. Hal ini melanjutkan Gerakan APP Tahun 2012 – 2016 “Mewujudkan Hidup Sejahtera”.

Dasar Perumusan Gerakan APP

Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagamaan yang tinggi, dimana perbedaan antar daerah merupakan suatu konsekuensi logis dari perbedaan karakterisrik alam, ekonomi, sosial dan budaya. Sebaran sumber daya alam, khususnya minyak dan gas, dan pertumbuhan pusat perdagangan dan industri yang terkonsentrasi di beberapa daerah menyebabkan timbulnya kantong-kantong pertumbuhan, sehingga ketimpangan pendapatan antar daerah menjadi tinggi. Tingginya kekayaan daerah tidak secara signifikan diikuti oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.

Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi yang tinggi kurang memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua. Selama kurun waktu 2006-2013, prosentase penduduk miskin di provinsi ini berkurang sebesar 8,16 persen dan masih menempati urutan tertinggi secara nasional serta lebih tinggi dari persentase penduduk miskin nasional (BPS, 2013). Kemiskinan di Papua disebabkan karena kemiskinan struktural, yaitu akibat struktur sosial dalam masyarakat.

Masyarakat Papua kurang mampu memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki. Jadi, terdapat kegagalan untuk merefleksikan kekayaan daerah ke dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di beberapa daerah di Papua.

Sementara itu, masyarakat lokal, khususnya penduduk asli sangat terkait dengan daerahnya, mengingat sentimen psikologis dan kultural mengatakan bahwa mereka adalah pewaris utama dari kekayaan alam yang terdapat di daerah mereka. Penduduk asli tidak merasakan manfaat secara langsung dari kekayaan daerah yang ada di sekitar mereka. Sebagaimana diketahui, di sekitar daerah pembangunan berbasiskan kelimpahan sumber daya alam atau kantong-kantong eksploitasi (minyak, gas, pertambangan lainnya, hutan, perkebunan, dan lain lain) ditemukan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dan terlupakan di tengah hiruk-pikuk pengerukan sumber daya alam di sekitar mereka.

Mereka umumnya adalah penduduk asli daerah yang bersangkutan. Suatu keadaan yang betul-betul mengusik rasa keadilan. Bahkan “keadaan” seperti telah menempatkan mereka hanya sebagai penonton, bahkan sebagai korban, dengan dalih pembangunan dan pemerataan. Situasi ini membuat masyarakat rentan konflik, dan semakin melebarkan jarak antara orang kaya dan orang miskin sebagai akibat dari kemiskinan struktural yang terjadi.

Daerah dengan sumber daya alam yang kaya ternyata belum menjamin secara langsung bahwa masyarakatnya akan sejahtera. Golongan miskin tidak mendapat keuntungan dari sumber daya tersebut karena adanya struktur yang menjadi penghalang. Struktur yang dimaksud di sini adalah struktur kekuasaan dan tata pemerintahan, serta struktur sosial lebih luas yang menyebabkan terjadinya ketimpangan, ketersisihan dan hilangnya kapabilitas seseorang untuk mendapatkan sumber daya yang ada.

Di sisi lain, ada daerah dengan faktor alam dan letak geografis yang kurang menguntungkan sehingga ketersediaan jumlah dan kualitas sumber daya air bagi masyarakat petani lahan kering, baik untuk kebutuhan primer dan sekunder umumnya sangat terbatas. Jauhnya lokasi sumber air mengakibatkan berkurangnya alokasi waktu masyarakat untuk kegiatan yang bersifat produktif. Upaya untuk menyediakan sumber daya air kurang maksimal, karena kebijakan pembangunan pengairan lebih memprioritaskan pada masyarakat di daerah hilir. Hal ini terkait dengan asumsi bahwa pengembalian atas mahalnya investasi pembangunan sarana air hanya dapat dilakukan oleh masyarakat kota dan lahan basah.

Ini berarti, kelangkaan sumber daya air yang dirasakan masyarakat lahan kering lebih terkait dengan masalah distribusi sumber daya air yang belum adil dan merata. Karenanya, penyediaan sumber daya air bagi masyarakat akan memberi dampak nyata terhadap perubahan kualitas kehidupan sosial-ekonominya.

Setiap warga memiliki hak asasi atas air sebagaimana halnya hak atas kesehatan dan pendidikan. Bagi banyak orang, air tidak dapat dipikirkan sebagai sebuah “komoditas” yang harus dibeli dan dijual. Air selalu dilihat sebagai suatu “modal publik” karena air sangat hakiki, bukan saja untuk kehidupan manusia, melainkan juga untuk hewan dan tanaman seperti juga untuk kehidupan bumi itu sendiri. Sebagai bagian dari hak asasi warga negara, negara wajibmenghormati dan melindungi hak warga negara atas air.

Hak penguasaan negara atas air dikatakan masih eksis bilamana negara yang oleh konstitusi diberikan mandat untuk membuat kebijakan memegang kendali untuk melaksanakan pengurusan, tindakan pengaturan, tindakan pengelolaan, dan tindakan pengawasan.

Perumusan Gerakan APP

“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (Gaudium et Spes. art.1). Oleh karena itu, kehadiran Gereja di tengah-tengah umat manusia yang menderita ketidakadilan dan ancaman terhadap keutuhan ciptaan menjadi sangat nyata.

Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka.

Alam semesta disediakan oleh Allah untuk keberlangsungan hidup manusia. Peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kebutuhan pangan dan kemajuan ilmu dan teknologi membawa dampak terhadap keutuhan alam semesta. Kemajuan ilmu dan teknologi membuat manusia semakin mampu menjangkau dan mengeksploitasi alam semesta. Alam semesta menjadi subyek ekonomis untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Pemanfaatan hutan (penebangan kayu) yang kurang/tidak berwawasan lingkungan, pengambilan bahan tambang yang menyisakan limbah beracun, privatisasi air yang berorientasi keuntungan ekonomis, dan pemaksaan lahan-lahan pertanian yang merusak tanah dan menyisakan residu-residu kimia, adalah sikap dan tindakan manusia yang memandang alam sebagai obyek ekonomis.

Merusak keutuhan ciptaan adalah cermin bahwa manusia kurang menghormati, menghargai dan memuliakan Allah sebagai pemilik dan penguasa alam semesta. Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis sudah menegaskan bahwa persediaan sumber-sumber alam itu terbatas keberadaannya. Bumi mesti diolah dengan sikap syukur (Centesimus Anus, 1991). Sehingga dalam Audiensi Umum tahun 2001 Paus Yohanes Paulus II menyerukan pentingnya pertobatan ekologis.

Seruan ini ditegaskan kembali oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik dalam Laudato Si, yaitu membangun hubungan yang sehat dan benar dengan seluruh alam ciptaan dan tidak lagi mengulang sikap dan perilaku yang merusak.

Gereja perlu menyadari bahwa kehadiran penyadaran kemanusiaan dalam hal tata kelola lingkungan dan bumi beserta isinya bukanlah pertama-tama persoalan teknis, tetapi bagaimana menyadarkan umat bersama masyarakat menemukan dan menata kembali pemanfaatan alam semesta yang berkeadilan sosial dan berkeutuhan ciptaan sehingga menjadi bermanfaat bagi peningkatan hidup manusia, yaitu terlepas dari kemiskinan, dan pada gilirannya mengembangkan kemampuan hidup untuk membangun kemandirian dan keberlanjutan kesejahteraan hidup bersama.

Gerakan APP Tahun 2017 – 2019

Inspirasi dasar APP bersumber pada pemurnian makna dan jiwa puasa yang sesuai dengan kehendak Allah seperti yang diserukan oleh nabi Yesaya, “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan talitali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”.

Karena itu hasil yang paling dinantikan dari Gerakan APP adalah gerakan aktualisasi iman kristiani dalam bentuk perubahan dan pembaharuan diri yang semakin sesuai dengan jatidirinya yang sejati sebagai manusia yang diciptakan secitra dengan Allah.

Manusia menjadi pusat dan sekaligus tujuan dari pembangunan. Pembangunan yang merusak lingkungan, juga akan merusak manusia. Dalam Evengelii Gaudium, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa alam itu rapuh dan tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri terhadap eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Paus juga mengingatkan bahwa manusia bukan hanya sebagai pengguna alam semesta, tetapi manusia juga harus sekaligus berperan sebagai penjaga dan pemelihara alam semesta. Oleh karena itu, keberhasilan suatu pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia.

Kualitas sumber daya manusia menjadi kunci penting untuk menuju kesejahteraan hidup. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia akan dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar (berkeadilan dan berkeutuhan ciptaan) jika diimbangi dengan sumber daya manusia yang bermutu. Salah satu cara untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan memberikan pendidikan yang berkualitas. Pada saat yang sama, pendidikan juga harus didasarkan atas asas pemerataan agar terwujud keseimbangan kesejahteraan di setiap daerah.

Proses pendidikan berawal dari dan dalam keluarga. Dalam pesan Hari Kedamaian Sedunia, Sri Paus Yohanes Paulus II tanggal 1 Januari 1994 menegaskan dan mengingatkan kembali pentingnya keluarga sebagai ruang dan tempat untuk menumbuhkembangkan pendidikan yang berkualitas. Keluarga, sebagai persekutuan pendidikan yang fundamental dan esensial, merupakan sarana yang pertama dan paling istimewa untuk mewariskan nilai-nilai agama dan budaya yang membantu manusia memperoleh identitasnya sendiri.

Karena didirikan atas dasar cinta kasih dan terbuka bagi anugerah kehidupan, keluarga dalam dirinya sendiri berisikan masa depan masyarakat; dan tugasnya paling khusus ialah untuk secara efektif memberikan sumbangan untuk masa depan yang penuh damai. “Keluarga adalah sel dasar masyarakat, dimana kita meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain dan menjadi milik satu sama lain; keluarga juga merupakan tempat dimana orangtua mewariskan iman kepada anak-anak mereka”(Evangelii Gaudium 66).

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) ke 4 tahun 2015 merefleksikan keluarga Katolik sebagai sukacita Injil; Panggilan dan perutusan keluarga Katolik dalam Gereja dan masyarakat Indonesia yang majemuk. Menumbuhkan kembali dan mengembangkan komunikasi kasih dan kemampuan perutusan cinta kasih dalam keluarga guna menghadirkan kesejahteraan hidup bersama yang penuh dengan kedamaian.

Atas dasar peristiwa dan tema pastoral SAGKI ke 4 tahun 2015 yang dibuat lima tahun sekali, gerakan APP tahun 2017 – 2019, “Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup Bersama” akan direfleksikan dan digulirkan melalui tata kelola nilai hidup dalam keluarga, yang secara tematis akan dibuat dalam tema tahunan.

Gerakan APP Tahun 2017: “Keluarga Berwawasan Ekologis”

Keluarga adalah sel dasar masyarakat. Sebagai sel dasar, keluarga menjadi titik awal untuk membangun ‘tobat ekologis’ yang akan menumbuhkan dan mengembangkan sikap hidup dan tindakan hidup yang berwawasan ekologis dalam membangun keutuhan hidup bersama. Keutuhan hidup bersama dipahami sebagai suatu relasi harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam ciptaan dan manusia dengan Allah Sang Pencipta. Keutuhan hidup mencakup manusia dan lingkungan hidupnya.

Lingkungan hidup mempunyai fungsi penyangga peri kehidupan yang amat penting. Oleh karena itu, pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan hidup bersama. Hal ini menjadi tanggung jawab semua orang, dan tanggung jawab ini dimulai dari dan dalam pendidikan keluarga.

Source : Sesawi.net